Edelweiss Biru Pudar

Category : cerpen



Fragmen dari cerita-pendek : Edelweiss Biru Pudar

Terhempas

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku terhempas. Kertas-kertas surat yang kujumpai seakan sudah lama enggan bercerita tentang coretan beku di atasnya. Bertumpuk di dalam peti kayu yang pengap ini. Seandainya mampu, ingin sekali aku membuka-buka dan membaca tumpukan surat itu, mengetahui alur peristiwa yang sebenarnya.

Rapuh

Aku terlalu berkhayal! Saat ini untuk melihatpun aku tak punya kuasa. Aku sangat rapuh. Tak seharusnya aku merasakan semua ini. Ini bukan bagian dari diriku, aku terpisah dari kehidupanku. Goncangan-goncangan yang membuatku harus mengerti perbedaan-perbedaan yang terjadi. Aku mulai belajar memahaminya, menarik penggalan kisah seterusnya berusaha merangkainya. Namun, kadang aku terlalu hanyut ke dalamnya. Membuatku terlena. Sekali lagi aku mengerti, dan mungkin hanya aku yang mengalaminya.

Terlena

Tetapi, mengapakah aku perduli? Tak salahkah perasaanku? Kini aku terpuruk tak berarti. Aku telah pudar tenggelam. Aku semakin takut detik-detik selanjutnya, tak ada kebanggaan lagi. Apakah mereka perduli? Apakah dia tahu aku menjerit? sama seperti ketika dia merengkuhku hampir setahun yang lalu? Seperti anak kecil saja, aku tak mengerti dan tak punya kekuatan. Aku hanya diam memandang, semua terpisah dariku. Sampai kemudian aku terlena oleh bias semu yang membiusku. Menembus tubuhku terdalam. Perlahan-lahan aku bergerak. Aku tak mengerti selanjutnya. Aku diliputi perasaan yang aneh. Aku mulai tersenyum. Aku mulai suka. Ada kebanggaan. Aku mulai mekar, berbunga-bunga menjadi bagian dari kisah paling menakjubkan yang pernah ada. Aku menjadi lambang perasaan penuh misteri sepanjang sejarah….perasaan cinta-kasih! Aku semakin terbuai…

Usang

Kini, apakah itu masih ada padaku? Akankah aku dapat mempertahankannya? Apakah semua perduli padaku saat ini…? Aku menjadi anak kecil lagi…diam dan tak punya kekuatan,,,, Mungkin saja ini memang telah menjadi garisku. Segalanya terus berubah dan tak ada yang kekal. Menyadari kenyataan, ada bagian diriku yang terlepas. Aku telah usang.

Larut

Terlalu mengada-ada pikiranku! Aku melakukannya lagi, larut dalam kisah yang terjadi di hadapanku. Selalu begitu.

Merana

Akh! Jangan tinggalkan aku! Kembali…. Kembali…!! Teriakanku menggema. Ia sedikitpun tak ada kepedulian. Aku semakin merana. Kuperhatikan sekelilingku. Ada keinginan untuk kembali ke tempatku, aku masih belum terlampau jauh. Akh teman-temanku, pastilah mereka memikirkan aku di atas sana…

Penonton

Hari-hari selanjutnya semakin bertambah parah. Ia sering marah tanpa aku tahu sebabnya, atau.., kalau tidak, termenung lama. Tiapkali aku bertanya, tiapkali pula aku tak mendapat jawaban. Kesal! Sombong sekali tak mau berbagi denganku. Lama-lama aku terbiasa dengan keadaan ini. Aku tak memperdulikannya. Lebih baik aku menonton, mengamati kelanjutannya.

Pesona

Pernah aku ingin melakukan lagi pekerjaan dulu, menyatukan meraka. Bukankah aku yang membuat mereka bersatu? Aku adalah symbol dari kebersamaan mereka. Tiap saat kupancarkan pesonaku sekuat-kuatnya. Mengingatkan dengan permulaan itu. Aku berbicara banyak, memberi sugesti sedalam-dalamnya.

Kerinduan

Perasaan yang satu ini tak pernah hilang dari tubuhku. Selalu menghentak. Kerinduan! Wajar saja, aku ingin bertemu mereka lagi. Rumahku, teman-temanku, suasana sekitarnya… Alangkah nyaman menikmati kabut tersinari cahaya pagi, atau melemparkan pandangan ke gumpalan awan. Seandainya semua ini tak terjadi,seandainya lelaki itu membiarkan aku liar seperti adanya… Tak pernah ada kerinduan…!

Emosi diri

Akupun menyadari perasaanku tak alami lagi. Sudah terbalut hal-hal yang datang kemudian. Aku mudah hanyut oleh peristiwa yang dulu biasanya tak terpikirkan. Aku sering merasa goyah seiring perubahan waktu, kebingungan dengan pertukaran cuaca, atau belum lagi perasaan yang tak sepantasnya menjadi milikku. Aku dihinggapi emosi diri yang berlebihan. Aku merasa sedih, gembira, senang yang teramat-amat.

Pudar

Aku terkurung. Batinku dan ragaku. Aku sudah tak berarti lagi. Inilah hidupku. Tak pernah padam tak pernah menyala. Perlahan semakin pudar. Aku mengkhayalkan diriku bermekaran selamanya, meraih awan, terguyur hujan deras, menatap kabut pekat, mendengar desah angin semilir…. Berada di tengah-tengah, bergoyang-goyang….

Akh Edelweiss-edelweiss liar….

Facebook Blue Part Thirteen

Category : cerpen, facebook

Sore-sore arah rumah Bayu.

Facebook lagi-Facebook lagi! Beranda, status terbaru, tambah teman, tulis komentar, …Hah! Bayu sebel banget! Abaikan-abaikan! Kalimat-kalimat itu selalu muncul di kepalanya, turun ke puser, terus ke kaki. Narik-narik urat saraf hingga langkahnya gak konsen nyusuri trotoar jalan. Akibatnya, gerobak sampah yang segede gajah bunting sukses ketabrak kakinya. Gedubrak!

“Abang pelit amat, rumah gue tinggal deket lagi, tuh di belokan sana…” protes Bayu waktu sopir angkot ngusir dia turun dari mobilnya tadi.

“Yeeee, udah numpang pake nyuruh orang lagi. Udah cepetan turun!”

“Dikit lagi kenapa, sih?” Bayu masih gak mo’ turun, “..sopir teladan cepet masuk surga, gak pake ditimbang…”

“Heh, kagak bisa!” abang sopir mulai marah. “Cepet turun, ntar gue telat ke pertemuan Facebook!”

Bayu gak punya pilihan lagi. Ia heran dan ngelirik ke sopir angkot itu. Kayaknya emang tongkrongan mo’ datangin pertemuan. Dandanannya terlalu rapi untuk ukuran sopir angkot. Rambutnya disisir klimis (mungkin abis minyak sebaskom buat minyakin rambutnya!)

“Iyalah…gue turun sini,” akhirnya Bayu nurut. “Tapi ntar abang pulangnya gak usah malem-malem, sama di sana gak boleh berantem” pesennya sambil meloncat turun dari mobil angkot. Abang sopir cuma manggut-manggut gak paham.

Dan sekarang Bayu lagi benerin sendi kakinya yang sepertinya lepas akibat nabrak gerobak sampah tadi. Untung gak parah. Cowok manis itu kembali nerusin jalan. Pikirannya belum pulih benar. Langkahnya masih limbung. Kayak di sinetron tivi, ia nendang apa saja barang-barang kecil yang menghalangi langkahnya. Botol akua, kaleng minuman, bungkus rokok, jam tangan, hape, but….

Cuuttt!!!

(Duit gopek kecetak jelas di retina matanya dan …Plaassst!! Langsung ia amankan ke saku jeans. Rejeki tiban!)

Cowok itu tadi abis dari rumah Hepi, soulmate-nya. Tapi karena motor ‘monster’nya lagi dipinjem Gedur, temennya, terpaksa ngapelnya pake naik angkot. Wuih setia banget! Bela-belain dandan abis di salon (ih!), sampai rumah Hepi, gak ditemui yayangnya itu. Bayu kecewa. Hepinya lagi pergi entah kemana. Yang ada cuma Uyo, tukang kebonnya yang meski cowok tapi gayanya centil banget. Amit-amit pake ngajak ngobrol lama segala. Bayu gondok. Tambah lagi, Uyo yang saat itu mengenakan tanktop merah cabe ngedipin dia terus. Begitu ada kesempatan dia langsung kabur.

Bayu nyesel kenapa gak nelepon dulu pas mau datang. Kalo gak karena sayang, mokal dia ke rumah Hepi. Sore-sore gini mending di rumah ngupi sambil facebook-an.

Tapi, gak ding!

Bayu sebel sama makhluk yang namanya Facebook itu. Semula dikiranya situs internet yang ada hadiahnya semilyar. Heboh banget. Temen-temennya ikut semua dan selalu ngomongin pas ngumpul bareng. Kayak wabah flu burung, semua orang demam facebook. Bayu penasaran juga pingin tau. Eee…gak taunya situs pertemanan di internet.

Bayu menyurutkan langkah padahal pagar rumahnya sudah kelihatan. Berbelok nyebrang jalan dan masuk ke warung ayam goreng di situ. Tiba-tiba saja cacing di perutnya ngitik-ngitik usus. Lapar! Sejenak Ia ragu untuk pesan makanan. Ia gak bawa duit selain koin gopek hasil nemu harta karun tadi. Dompetnya ketinggalan di kamar waktu mo’ berangkat ke rumah Hepi. Tapi peduli amat, ngutang dulu!

“Satu sama jeruk anget, ya” pesen Bayu nekat,” tapi ngutang dulu,soalnya gak bawa uang, nih, mbak”

Mbak Yani yang punya warung cuma senyum. Dia sudah kenal Bayu karena sering makan di warungnya.

Sembari nunggu pesanannya selesai Bayu celingukan melototin ruangan warung. Ada yang hilang! Desisnya. Ia tak mendapati wajah manis Ririn, adik mbak Yani yang biasa ikut bantu-bantu di situ. Bayu suka lama-lama pandangi gadis itu yang menurutnya manis alami gak cuma casing doang.

“Ririn kemana, sih, mbak?” tanya Bayu begitu mbak Yani datang dengan ayam goreng pesanannya.

“Lho-tadi bukannya pergi sama kamu? Mbak kira kalian berdua” jawab mbak Yani heran.

“Enggak, mbak…”

“Aduh tadi siapa, ya? Mbak kurang jelas ngeliatnya. Tapi bener tadi itu boncengan pake motor kamu. Mbak yakin sekali..” mbak Yani mulai kuatir

Bayu ikutan bingung. Siapa ya? Pake motornya? Sialan! Batinnya. Pasti si Gedur yang pergi bersama Ririn. Tadi bilangnya pinjem motor buat nganter adiknya yang mo disunat. Ternyata buat nyulik anak orang! Baru seminggu Gedur belajar naik motor, rasain kalo jatoh lagi!

“Pasti sama Gedur, Mbak,” ujar Bayu” anak itu emang kurang kerjaan!’

“O-iya, mbak ingat…” mbak Yani lega, “pantesan pagi-pagi sudah kesini bisik-bisik ngajak Ririn ke pertemuan facebook”

Nah facebook lagi! Mana sih tempat di dunia ini yang penghuninya gak kejangkit demam Facebook? Bayu mengerutu. Dia jadi inget kisah Gedur yang jatuh dari motor. Seminggu lalu abis sekolah Gedur pinjem motornya. Katanya mo’ belajar jadi pembalap. Belum fasih bener pegang stang kemudi, dia sudah tancap gas kenceng. Akibatnya dia dan motornya jatuh ke kali pinggir jalan. Parah, Gedur sampe dibawa ke Puskesmas segala. Bukannya luka ato patah tulang gitu, Gedur diopname karena masuk angin gara-gara kerendem air kali. Dia sempet gak sadarkan diri beberapa jam. sudah gitu pake ngigau keras lagi, “Facebook status baru : pingsan mode ON…!!”

Hi…hi…

Ah-Gedur, udah mo tamat masih nyebut jejaring pertemanan itu. Bayu ngikik sendiri sambil makan ayam goreng yang tinggal daging-daging tipis.

“Kamu nggak ke pertemuan facebook, Bay?” tanya mbak Yani tiba-tiba

Bayu kaget. “Engga, mbak. Lagi males. Lagian gak demen facebook”

“Ah, yang bener?….ato kamu ditinggal sama cewek kamu….”

Bayu diam.

“lagi marahan, ya?” celetuk mbak Yani lagi.

Bayu tetep diam.

……………………….

Bayu akhir-akhir ini emang dikit pendiam.

Awalnya di sekolah. Dia lagi bete sama Hepi. Meski satu sekolah dia gak mau nemui pacarnya itu. Jam istirahat sering ia habiskan ngumpul bareng teman cowoknya. Main tak-umpet (he, udah gede masih main gituan!), ato baca-baca di Perpus, ato main internet di lab komputer sekolah. Tapi celaka, bukannya buka situs sains ato semacamnya, tapi malahan buka situs…(ehm!). Dia ketahuan dan digiring ke kantor guru. Bayu malu.

Hepipun tahu tragedi itu.

“Bay, kamu serem banget buka situs begituan. Gak ngerti apa kalo komputer sekolah kita sudah diprotek?” kata Hepi waktu mereka gak sengaja ketemu di kantin.

Bayu diam saja. Sibuk mijit-mijit sedotan minuman, kadang digigit ujungnya. Hepi jengah liat muka masem Bayu.

“Kamu kenapa, sih, akhir-akhir ini beda banget?” kata Hepi lagi.

Uaakhm!!!

Bayu terlonjak. Rupanya ujung sedotan yang digigitnya grepes ikut ketelan. Bayu kaget sendiri.

“Ga lucu!” omel Hepi sambil nonjok perut Bayu.

“Adaaawww!!” Bayu buka suara juga. Dia meringis kesakitan..

“Tuh, biar kapok! Makan sekalian aja gelasnya” tambah Hepi sebel.

Bayu mendelik.

“Heran ya liat gue?” akhirnya keluar juga suaranya. “Emang! Akhir-akhir ini gue emang beda. Rambut kribo gue tambah panjang. Gimana, tambah ganteng, ya?” katanya ngelus-elus rambutnya yang kribo asli.

“Ih-maunya. Jelek!” sungut Hepi membuang muka.

Bayu ketawa. Setelah itu dia diam lagi.

Hepi manyun aja. Hepi bukannya gak ngerti kalo akhir-akhir ini Bayu aneh. Gak nyapa pas ketemu, gak pasang muka manis, ga ngajak pulang bareng. Hepi tahu. Ia cuek saja. Dipikirnya paling aksi Bayu bentaran doang. Tapi sudah hampir tiga minggu Bayu pede dengan aksinya itu.

“Kamu marah sama Hepi, ya? Maafin Hepi deh…” Hepi coba mengalah

“Apa yang perlu dimaafin? Gak perlu minta maaf! Elo gitu banget. Ngapain tiap gue kerumah lo selalu gak ada. Ngeloyor sama genk elo.Ngapain lo ikutan mereka. Maniak sama facebook sampai ikut-ikut pertemuan segala! Terus lupain gue!” kata Bayu dongkol

“Heh, cuma gara-gara Facebook kamu marah sama Hepi? Kamu tau aja semua cewek juga nglakuin kaya’ Hepi. Paling juga ga lama” Hepi coba berdalih.

“Gue gak ngomongin cewek.gue ngomongin elo.”

“Iya, tapi kan??

“Iya. Gak hanya sekali, tiap datang kerumah lo, lo selalu gak ada!”

“Maafin Hepi, deh..”

“Gak!” sahut Bayu keras

“Terus mau kamu apa?”

“Elo pacarin aja temen-temen Facebook lo!”

Bayu bener-bener marah, sampai kemudian…

“Kita putus!” ujarnya Bayu mantap,”…ntar kalo jodoh juga nyambung lagi!”(yeeee…)

Hepi menatap gak percaya mata Bayu. Masa gara-gara Facebook Bayu bisa sekejam itu? Hepi berbalik dan pergi, tapi suara Bayu memanggilnya.

“H-Hepiiii…..” teriaknya. Dia mulai kuatir dan suaranya jadi memelas gemeteran..“H-Hepi…B-Bukan b-berarti k-kita t-terus p-putus b-begitu a-aja…..b-bukan b-berarti k-kita g-gak t-temenan l-lagi….t-tolong s-sekali i-ini b-bayarin e-es c-cendol g-gue b-baru k-kita p-putus….”(yeeee lagi….)

“Gaakkkk!!!” kata Hepi berlari kenceng masuk kelas.

Bayu sebenarnya sedih mengucapkan kata putus itu. Ia gak sungguh-sungguh. Baru seminggu saja ia sudah kangen. Kalo malam gak ia denger lagi suara Hepi nelepon, di sekolah gak ditemui lagi muka imut Hepi yang mirip Koo Hye Sun di serial Boys Before Flowers, lebih rugi lagi di kantin gak ada yang bayarin dia minum es cendol. Bayu sering nangis kalo inget itu semua. Jujur, dia merindukan cewek paling manis se-Indonesia itu (hi…hi…)

Makanya, ia berniat datang ke rumah Hepi meralat keputusannya yang dulu itu dan minta maaf. Tapi malang gak dapat ditolak, Hepi gak ada di rumahnya.

selanjutnya[…]

update : bagian terakhir ‘ Facebook Blue Part Thirteen’

Di Sini Tak Ada Setan

Category : cerpen

Pier & Metal Death : Di Sini Tak Ada Setan

 

 

 

 

 

Sosok bertaring dan berkuku panjang itu terus mengikuti langkah Giok. Matanya yang setajam pisau cukur menembus kepekatan malam. Merasa ada yang menguntit, Giok mempercepat langkahnya. Sesekali ia menoleh dan menyorotkan senter ke belakang. Sosok itu langsung menyelinap ke balik pohon. Nyali Giok menciut. Tengkuknya merinding dan bulukuduk mulai berdiri. Giok menggaruknya. Amit-amit, sekarang merembet ke bulu keteknya ikutan meremang!

 

 

Tuit…tuit….tuittt…!! HP Giok berbunyi dan munculkan SMS:

Pulang yuk! Di gunung banyak setan. Ada drakula, pocong, mayat hidup tanpa kepala, Frankenstein…eh-ada juga Teletubbies. Hiii…takut!!

“Nggak takut!” omel Giok setelah baca SMS itu. SMS bernomor tak dikenal di kotak masuk HP-nya. Siapa malem-malem gini kurang kerjaan, nakutin orang? Giok melirik jam di layar HP. “Ampun, jam setengah delapan!”

Giok terpaksa berjalan sendirian menyusul teman-temannya yang telah berangkat naik gunung duluan.

“Hoi..kalian ada di mana?” Giok mencoba menghubungi salah satu nomor HP temannya. Setelah beberapa lama baru tersambung.

“Mayday-mayday…di sini Elang….suara anda tak begitu jelas di terima di pos dua….sebutkan posisi anda, babi hutan!” kata temannya di seberang.

“Sialan, nggak lucu!” maki Giok protes dengan sebutan dirinya. “Gue udah lewat pos satu semenit tadi…Pos duanya masih jauh nggak? Eh kalian jangan nerusin jalan, nunggu gue dulu ya…”

“Ha….ha….taon depan elo baru nyampe pos dua….naek ojek aja biar cepet!”

Ih! Setelah itu di tutup. Giok menggerutu.

Giok kembali berjalan. Pohon-pohon dan belukar di tepi jalur pendakian semakin rapat, seperti makhluk menyeramkan yang senantiasa melirik ke arahnya. Giok tercekat. Bibirnya gemelutuk. Akh, andai saja anak-anak nggak ninggalin dia sendirian? Ratap Giok melas.

 

 

Kenapa Giok bisa terpisah dari anak-anak? Ceritanya gini:

Rencananya mereka tujuh orang, berangkat naik gunung bersama. Ditunggu selama sejam lebih, Giok belum juga muncul. Nggak tahunya, anak itu lagi di salon buat berdandan (iiiiihhh…, mo’ naek gunung aja pake dandan segala!). Anak-anak pada dongkol dan mutusin naik duluan. Tinggal Giok sendirian, berangkat menyusul mereka. Sebenarnya Giok nggak akan nekat-nekat amat kalo saja di rombongan itu nggak ada…Ajeng, cewek manis yang diam-diam ditaksirnya. Giok lagi pedekate kepadanya. Ia nggak mau keduluan anak-anak yang saat ini pasti sudah pada tebar pesona ke gadis itu.

Malam kian mencekam. Derak dahan pepohonan dihembuskan angin terdengar mengerikan. Bau lumut hutan bercampur daun yang membusuk menambah kesan angker dan mistis jalur yang kini dilewati Giok.

 

 

“Duh, Tuhan…semoga di depan ada pasar malem nyasar…jadi nggak menakutkan kayak gini….” Doa Giok begitu menoleh ke belakang, dilihatnya ada sesuatu bergerak-gerak di semak. Sosok yang dari tadi selalu mengikutinya? Hiyyaaa!! Giok palingkan muka.

Giok mempercepat langkahnya. Beberapa kali kakinya tersangkut akar pohon yang melintang di jalan. Giok hampir putus asa. Sambil terus berjalan, bibirnya komat-kamit berdoa apa saja biar tidak teringat hal-hal menyeramkan. Atau, ia mencoba mengingat cerita-cerita lucu tentang gunung.

“Gunung ini aman, kok,” kata yang jaga basecamp tadi, “nggak ada makhluk-makhluk serem dengan lidah terjulur nakutin pendaki….karena…..emang mereka pada nggak punya kepala!”

Atau, cerita bang Karno yang jualan batu akik di pasar. “Kalo cari batu akik, di gunung tempatnya. Di sana ada biji mata yang nempel di pohon-pohon besar. Kalo disentuh, biji mata itu bisa berubah jadi batu akik..,” kecap bang Karno waktu itu.

Lain lagi cerita sopir mobil sayur yang mengantar ia ke basecamp. “Orang naek gunung sering ketemu ama tangan yang melayang-layang. Ntar kalo ketemu tangan itu, suruh aja kitik-kitik pinggang elo, biar elo ketawa dan nggak jadi takut….”

Ada lagi,

Astaga! Kok, ceritanya nggak lucu, serem malah! Giok begidik sendiri.

Tuitt….tuitt….tuitt… HP Giok berbunyi, ada SMS lagi dari nomor misterius tadi:

Ih-serem! Pernah denger cerita orang ilang di gunung? Masih mending kalo ditemu kuntilanak. Kalo kolornya doang yang ditemu sama dia? Malu-maluin!!

Sama seperti yang pertama, tak ada identitas si pengirim SMS. Giok pencet nomor itu. “Elo siapa, monyet!? Jangan nakutin gue! Gue takut apa!!”

Tak ada jawaban. Giok menyerah. Ia menerka-nerka siapa pemilik nomor itu. Ajeng-kah, karena sampai saat ini ia tak tahu nomor HP-nya, atau, mungkin saja nomor baru milik anak-anak yang bermaksud ngerjain dia?

Giok membaca lagi SMS itu, dan segera teringat dengan celana kolor yang dipakenya di balik celana rimba. Dia langsung ketawa membayangkan seandainya ada kuntilanak nemu kolornya yang motif kotak-kotak gambar bunga…seru! Rasa takutnya sedikit berkurang.

Tambah seneng lagi ketika dilihatnya kerlip samar di kejauhan. “Nah, itu semoga anak-anak di pos II,” gumam Giok gembira.

“Ajeeeengngng…!!” panggil Giok lantang.

Tak ada sahutan, selain gema suaranya yang berbalik arah masuk ke telinga.

“Ajeeeengngng….!!” Giok mengulangi lagi lebih keras.

Sama saja, tak ada sahutan selain gema suaranya seperti tadi.

“Asguuusss…Pieeerrr….Pauuuuull….” Kini ganti memanggil nama teman-temannya.

Aneh, kini hening, tak terdengar gema! Hingga empat detik kemudian terdengar gemuruh  diikuti suara menggelegar.

“Huaaaa….huaaaaa….huaaaaa….!!!!”

Giok terlonjak kaget. Jantungnya seperti terpental dari rongga dada. Terbirit-birit ia menyeret kakinya dan berlari secepat…. babi hutan. Setannnn!!!

…………………………

Rupanya bukan Pos II, melainkan sebuah sumber air. Tak ada siapa-siapa. Giok mencari-cari cahaya yang tadi dilihatnya. Nihil! Giok beringsut dan menurunkan backpack di punggungnya. Mengambil jerigen  dan mulai mengisinya dengan air sumber. Hati-hati sekali, karena harus memisah-misah potongan ilalang yang ikut melayang di dalam air.

Sampai kemudian……..

“Mo’ mandi malem, ya?” terdengar suara yang tak begitu jelas. Giok celingukan mencari asal suara itu, meyakinkan pendengarannya.

“Nggak takut masuk angin?” terdengar lagi suara bersamaan munculnya sosok makhluk di seberang sumber air. Menatap Giok dan memperlihatkan sebaris giginya.

Tapi gigi itu…?? Giok memperhatikan gigi makhluk itu. Lalu….

“K-K-Ku…mis..eh…k-k-kun..kuntilanaaaaakkkkk….!! Jerit Giok meloncat dan berniat berlari secepatnya. Ia tak memperdulikan senternya masih tergeletak di pinggir sumber air. Tak ayal, baru beberapa meter kakinya tersandung dan ia terjerembab ke gerumbul semak.

 

 

Giok sangat ketakutan, apalagi ketika sosok setinggi dirinya itu mendekat. Ia hanya bisa pasrah dan membenamkan mukanya ke semak. Matanya terpejam dan tubuhnya menggigil. “Tuhan…s-semoga ini hanya m-mimpi…s-semoga d-dia L-Lunamaya..a-atau R-Rihanna…a-atau s-siapa s-saja…p-pokoknya j-jangan k-kuntilanak….” Doa Giok hampir menangis.

 

 

Giok makin membenamkan muka ke semak, ketika sesuatu yang dingin mengguncang-guncang punggungnya. Kalo tidak ingat dirinya seorang cowok, rasanya ia pingin meraung menangis sejadi-jadinya.

“Heh…gue bukan kuntilanak..gue manusia!” ucap makhluk itu akhirnya.

Giok masih belum percaya. Berbagai pikiran berkecamuk di otaknya. Bagaimana kalau makhluk itu bohong dan kuntilanak beneran? Tapi…

Tapi…gigi makhluk itu….gigi makhluk itu pake kawat…masak iya kuntilanak pake kawat gigi?

 

 

Rasa penasaran mengalahkan ketakutan Giok. Ia balikkan tubuh. Perlahan matanya dibuka sebelah (jaga-jaga kalo yang dilihatnya kuntilanak beneran, lumayan, mata sebelahnya ga’ ngeliat!)

“Sekarang percaya?” Tanya makhluk itu menyorotkan senter ke muka Giok.

Giok membuka mata sebelahnya. Kini ia percaya makhluk di depannya manusia beneran, cewek kece lagi! Rasa takutnya langsung hilang.

“:Kacian deh kamu…kalo penakut nggak usah naek gunung sendirian, untung kamu belum ketemu kuntilanak beneran….” Kata cewek itu.

“B-Belum..?” rasa takut Giok muncul lagi.

“Iya. Biasanya sejam lagi dia nongol. Tapi dia baek, kok, nggak gigit orang…, Cuma nyekek!”

“Jangan, ah!” potong Giok cepat, “eh iya, gue Giok, elo?” lanjutnya menyorongkan tangan malu-malu.

“Avril Lavigne…” sahut cewek itu pede.

“Sk8r boy dong..yang bener ah!”

“Hi…hi…,” cewek itu tertawa. “Nggak! Gue Meira Aila..” ralatnya.

Meira Aila? Yang suka masuk tipi itu..??

Giok baru saja akan berdiri ketika HP-nya mengeluarkan bunyi, ada SMS lagi :

Enak kale yee, ketemu kuntilanak cakep?

Busyet, siapa sebenarnya yang mengirim SMS teror ini? Giok menatap mata Meira, yang dibalas sahutan, “cewek kamu?”

Giok menggeleng lemas. “Orang ini coba nakutin gue sejak dari bawah,” jelas Giok.

“Kita ke tendaku aja, yuk! Di sana lebih aman, lagian, kayaknya sebentar lagi kuntilanak mo’ lewat sini…” ajak Meira.

“Meira!! Jangan bilang-bilang itu lagi!” Giok langsung meloncat di belakang Meira.

Keduanya menuju tenda yang tak jauh dari sumber air  itu.

 

 

“Lo bener manusia khan?” Tanya Giok masih was-was. Beberapa kali matanya mengawasi langkah Meira. Jangan-jangan nggak nyentuh tanah?

Sementara itu, tiga puluh meter dari mereka, sosok bertaring dan berkuku panjang mengendap-endap di balik semak, terus menguntit.



…bersambung…
(baca lanjutannya klik di sini yaa…)



( special gift for anak-anak Dorsal Mrangkang :
“naek gunung lagi, yuk! Gak ada setan, kok. Mereka pada ribet main ‘tak-umpet di tipi!”)

Aku menunda kepulanganku

Category : cerpen

Langit Pucat Fort Marlborough[1]


Matahari sore bersinar lembut dengan tepian bulatan melingkar sempurna. Merah merekah. Kurasa akan terjadi sunset yang indah manakala menyentuh garis lautan sebagai batas akhir pandangan. Selanjutnya memberi kesempatan kegelapan malam menaungi kota Bengkulu. Masih cukup lama. Dan membiarkan aku sendirian menikmati senja dari atas benteng Marlborough. Aku menengok jalanan masuk tetapi mataku tak mendapati kedatangan gadis itu.

“Kenapa, kok-malah bengong?” kataku siang tadi di sekolahnya.

Pipit, gadis itu, diam saja. Kelihatan tak hendak menanggapi perkataanku.

“Manis…., aku kesini  pengen denger suara kamu” kataku lagi.

Aku terus berusaha mengusiknya, tetapi rasanya sia-sia kenekatanku.

“Ngomong dong, Pit! Lucu kalo kamu diam saja” aku masih sabar menanti, “tuh, temen-temen kamu pada lihat semua, disangkanya kamu maneken di butik mode kali”

Tak ada perubahan! Gadis itui malah menatapku tajam. Kuikuti gerak manik matanya. Ia malah membuang muka.

“Baiklah…,” ucapku selanjutnya, tak perduli Pipit mendengar atau tidak suaraku.  “Kamu sedih ya aku tinggalkan? Sedih karena aku harus pulang ke kotaku? Tidak usah sentimentil, nona. Aku masih bisa menghubungi kamu sewaktu-waktu, aku masih bisa telepon kamu, masih bisa ke Bengkulu lagi. Disini aku masih punya famili om Budi. Atau….”

Aku terus bicara sendiri, hingga Pipit mungkin merasa kasihan melihatku. Yang kutunggu-tunggu mulai meluncur dari pita suaranya.

“Sudah selesai? Pipit masih setia mendengar pidato anda, Tuan.”

Aku tak menggubrisnya.sebaliknya aku cubit hidungnya. Ia meringis, sepertinya aku terlalu keras melakukannya.

“Kamu kok ge-er banget sekarang? Katanya selanjutnya

“Iya, benar, itu karena seorang gadis yang kini berdiri seperti patung di depanku”

Pipit memandangku ketus dan ganti meninju lenganku. Kali ini bukan hanya keras, tapi sepertinya ada bagian tulangku yang remuk. Aku meraung kesakitan. Pipit malah tertawa tak kalah serunya. Aku suka. Ini adalah ekspresi alaminya, tak seperti tadi, entah makhluk dari mana yang ada di hadapanku.

“Sudahlah! Katanya mau pamitan. Cepetan! Pipit masih ada test. Berani nanggung jika Pipit harus ikut test susulan?” katanya berapi-api, kayaknya memang dia terburu-buru.

“Berani!” potongku, ia spontan meninju lengan sebelahku, aku hampir pingsan merasakannya. Aku menyerah.

“Janji kamu nggak menangis setelah mendengarnya. Malu-dong ketahuan teman-teman kamu” kataku masih bercanda, kali ini aku sudah bersiap-siap menangkis jika Pipit meninjuku lagi.

“Kalo masih ngomong yang engga-engga Pipit balik ke kelas!” ancamnya.

“Jangan!”

Aku panik kalau dia sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Oke, nona..” aku mencoba bersungguh-sungguh,” tapi, seperti tadi, janji kamu nggak sedih setelah ini, nggak akan nangis, nggak sering melamunkan aku…hehe..rajin belajar, jadi anak SMA yang manis, ……..”

Dengan lugas kuucapkan kata pamitanku. Pada Pipit, gadis manis yang kerapkali mengingatkan aku pada Ramauna adikku. Dia adalah semangatku di kota ini, dimana aku terpisah cukup jauh dari tanah kelahiran. Selepas SMA..dan juga setelah mama-papa bercerai, aku sungguh labil dan muak dengan semuanya. Lebih baik aku meninggalkan Semarang kotaku. Aku ingin melupakan segalanya. Kemudian aku ke kota ini, kebetulan om Budi, kakak ibuku, bisa mencarikan aku pekerjaan. Aku jadi berangkat ke Bengkulu. Dan waktu hampir satu tahun tak mengobati lukaku, juga kerinduanku pada Ramauna adikku satu-satunya, dan pada …Tindra, gadis yang pernah ada di hatiku yang kini aku tak tahu kabarnya.

Entah memperhatikan seluruh kata-kataku atau tidak, setelah selesai mengatakannya, kudapati keanehan yang kurasakan. Pipit tersaenyum lama padaku. Aku kesulitan mengartikan bias-bias dibalik bening matanya. Setelah menjabat tanganku, yang aku tak tahan hingga kurangkul dia, ia lalu berbalik ke kelasnya. Mungkin benar, ia sedang pusing memikirkan soal test yang ia tinggalkan. Aku keluar dari gerbang sekolah dengan galau yang menggayut.

Angin laut berhembus keras menerpa. Beberapa anak kecil terlihat sedang bermain bola di bagian benteng yang berumput dan datar. Cukup mengasikkan meski arena itu tak begitu lapang. Kuamati jalanan masuk benteng. Aku kecewa, gadis itu belum juga menampakkan diri.

Harusnya saat ini aku ada di dalam bus. Melaju beberapa puluh kilometer meninggalkan kota Bengkulu. Aku menunda kepulanganku. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan dengan gadis itu.



[cerpen] Langit Pucat Fort Marlborough

* Langit Pucat Fort Marlborough [1]

* Langit Pucat Fort Marlborough [2]

* Langit Pucat Fort Marlborough [3]

Bengkulu ini seperti Rafflesia Arnoldii,

Category : cerpen

Langit Pucat Fort Marlborough [2]


“Kayak apa kota Semarang?”

“Kayak apa, ya?” aku memikir-mikir, “…kayak banjir deras…menghanyutkan  dan cepat!”

“Cepat apanya?”

“Cepat banjirnya!” kataku lantang. Pipit tertawa. Aku paling suka melihat dia kalau tertawa lepas.

“Sekarang seperti apa Bengkulu?” balasku bertanya

Ia tak segera menjawab. Kepalanya mendongak keatas. Eksyen yang juga aku rindukan.

“Cari apa?” potongku cepat.

“Cari malaikat kasih contekan jawaban!” jawabnya ringan. Ia menbuatku menunggu lama. “…..seperti apa,ya ….. seperti Rafflesia, indah dan tak ada duanya.”

Mungkin benar jawabannya. Bengkulu ini seperti Rafflesia Arnoldii, bunga langka yang kadang terlihat dan ditemui di hutan-hutan Bengkulu. Begitupun kota ini bagiku. Kadang mekar di hatiku, kadang  aku bosan dan ingin meninggalkannya. Apa yang ditawarkan kota Bengkulu bagiku? Kota tepi pantai? Aku bahkan lebih suka Kepahiang, bagian Bengkulu paling atas. Kota kecil yang eksotis menurutku. Hawa dingin yang menyayat tubuh, suasana tradisional yang masih kental, atau perkebunan kopi di pegunungan. Sama-sama di dataran tinggi mungkin orang lebih memilih Curup yang lebih ramai dan kota.

“Nggak! Bengkulu ini bukannya indah tetapi ngeri!” protesku

“Nggak bisa!” ia menukas cepat.

“Lho-kamu sendiri yang bilang mirip bunga Rafflesia. Bunga Rafflesia  mengerikan!”

Aku jadi akrab dengan Pipit yang mula pertama kujumpai di Fort Marlborough di suatu sore. Seorang teman yang kepadanya aku berbagi rasa, dan seorang yang membangkitkan semangatku tinggal di perantauan, apalagi setelah lama tak ada kabar dari Tindra.

Aku seringkali menghabiskan sore di Fort Marlborough, benteng sisa peninggalan jaman kolonial. Menikmati senja kalau sudah tak ada pekerjaan yang mesti dilembur. Lain lagi hari Minggu, pagi buta sudah berlari-lari sampai pantai Panjang. Hembusan angin laut seakan membawa kepenatan kerja sepekan. Entah ini baik untuk kesehatan atau malah sebaliknya. Aku hanya suka saja melakukannya. Dan pasti Pipit ada menemaniku.

Saat-saat pertama aku melihatnya sering bersama teman lelakinya. Aku yakin itu kekasihnya. Tiap kali aku ke benteng selalu kudapati mereka. Pasangan yang serasi dan membuat iri tiap mata yang memandang. Hingga suatu sore tak kudapati pemandangan itu. Baru setelah mengenalnya, aku tahu bahwa mereka sudah putus cinta. Tiap kali kutanyakan sebabnya, tiapkali pula aku tak mendapatkan jawaban.

“Masih kecil jangan pacaran dulu, nona…..” nasehat yang sering kulontarkan kepadanya.

Ia pasti berkilah. “Salah! Pacaran itu mata pelajaran nomor satu di SMA…..”

Bersamanya aku jadi tahu banyak tempat yang wajib dikunjungi di Bengkulu. Suatu ketika di perjalanan mendaki bukit Kaba ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sewaktu Pipit membuka tas daypack-nya, tak sengaja ada benda yang jatuh. Aku tahu itu adalah kepingan segiempat yang kuberikan kepadanya. Aku memungutnya dan alangkah terkejutnya aku. Di kepingan itu ditempel foto close up-ku. Aku tertawa, sebaliknya dia kelihatan gugup dan secepatnya merebut kemudian memasukkannya lagi ke tas.

“Kamu mau jadi pacarku?” gurauku suatu waktu.

“Nggak mau!” jawab Pipit cepat. “Kamu bilang anak kecil tidak boleh pacaran dulu, lagian nggak enak pacaran sama kamu…..”

Aku tertawa dan menanyakan alasannya. Pipit hanya tersenyum.

Aku suka berada di dekatnya. Aksen bicaranya mampu membuatku ikut ceria seperti yang ditawarkan pada bening matanya.



[cerpen] Langit Pucat Fort Marlborough

* Langit Pucat Fort Marlborough [1]

* Langit Pucat Fort Marlborough [2]

* Langit Pucat Fort Marlborough [3]