Sakit ati! Kenapa mesti takut dengan kami anak-anak (manis) berambut gondrong??

Category : cerpen, disclaimer

 

Pier & Metal Death
Sakit ati! Kenapa mesti takut dengan kami anak-anak (manis) berambut gondrong??
 
 
“Makasih ibu-bapak, membiarkan kami hidup dengan rambut panjang…”
Thanks : our parents, for putting up with the shit and living with us long hairs
(obituary, deathmetal 1989)

 

Part I : Jangan manjangin rambut kamu!

Berangkat latihan band.
Aku duduk di samping Butak, drummer yang pake kacamata minus itu, di jok 3 bus angkutan antar kota. Bersamaan jam pulang anak sekolah. Tak heran kalo bus penuh sesak, kecuali satu, sebelahku masih kosong. Butak celingukan nyari cewe yang sekiranya  ‘masuk’ kriteria cewe idamannya.(ga sulit amat syarat jadi cewe idaman Butak, asal si cewe mau aja Butak dah seneng lahir-batin). Tapi, cewe yang seneng Butak itu pastilah cewe langka, buktinya seisi bus yang ngerasa cewe tak satupun yang berminat. Huh-jangankan tertarik, ngelirik Butak aja dipaksa-paksain. Padahal Butak tuh orangnya manis(kalo pas kena guyuran air gula!)

Hampir nyampe tempat latihan nge-band bus berhenti naikin penumpang lagi. Kali ini rombongan  ibu-ibu pegawai pemerintah, keliatan  dari seragam yang dikenakan. Langsung berebut. Yang mujur masih nemu jok kosong yang telah ditinggalkan penumpang, yang lainnya berdiri. Satu-masih ada jok kosong di sebelahku. Herannya tak ada satupun dari ibu-ibu yang tak dapat tempat duduk itu mau menempati. Jadi mikir ‘ pa jok sebelahku ada hantunya sampe mereka tak mau duduk..ihh-takuutt…

Pastilah engga ada hantunya. Aku pandangi ibu-ibu itu dan bermuka manis menawarkan jok kosong itu. Sama aja, gak ada yang mau duduk. Hmm-jadi engga enak dan serba salah. Aku ganti terpaksa pandangi Butak yang masih celingukan nyari cewe idaman.

“Heh, Tak, ayo!” ajakku hengkang dari jok berhantu itu. Sepertinya Butak tau maksudku dan segera beringsut milih berdiri dekat pintu keluar bus.

“Muka lo kayak hantu!”

“Engga! Muka elo yang kayak hantu!”

Iya, saling menyalahkan. Segitu menakutkankah kami? Ga mungkin! Ato-mungkin saja bener jok itu berhantu…

Sekali lagi Engga! Jok tempat duduk di bus itu tak ada hantunya! Gak lama-baru saja kami tinggalkan ibu-ibu pegawai yang tadi berdiri, sudah asyik ngikik ngerumpi di jok itu. Suaranya keras seperti tak mau kalah sama deru bus.

Sakit ati! Kenapa mesti takut dengan kami anak-anak (manis) berambut gondrong??

“…rasain-aku sumpahin laki lo rambutnya gondrong kumisnya juga gondrong, ato anak-anak nakal lo semua berambut gondrong….!!”

Eh-gak baek bilang gitu! Emang sudah resiko rambut gondrong dijauhin orang. Mungkin saja ibu-ibu itu punya trauma dengan orang berambut gondrong yang keliatan mirip berandalan ato preman gak punya kerja, wajar aja kalo gak suka..

Biarkan saja. Biarkan saja…

 

Part II : Gak papa manjangin rambut kamu.

Perjalanan dari terminal Cimone – stasiun Senen.
Sinar lampu-lampu gedung di pinggir jalan seperti menyayat menembus kaca bus. Menciptakan siluet garis abstrak di mata, menerangi ruangan redup interior bus. Menandakan waktu sudah beranjak malem hari. Ibukota masih saja sesak dan penuh aktivitas sana-sini. Aku jadi ingat di kampung pasti saat begini pada berangkat ngumpul di tempat nongkrong, bagi-bagi cemilan ato ada juga yang lagi main gaple di pos ronda.

Beruntung tadi naik bus di terminal, semua-kami tujuh orang, kebagian tempat duduk. Banyak penumpang lain terpaksa berdiri dan berharap ada penumpang yang turun dan jok kosongnya bisa gantian diduduki. Tujuh anak band(hehe..) mo pulang kampung dan terheran-heran dengan keramaian Jakarta.

Ada cerita manisnya,

Di bus yang penuh sesak itu ada juga makhluk yang membuat kami tersenyum. Bener! Diantara penumpang yang berdiri, ada ibu muda dengan anaknya yang masih kecil. Sekitaran tigapuluhan umur ibu itu.

Kasian juga kalo harus berdiri sambil gendong anaknya. Untung temenku baik hati merelakan tempat duduknya untuk ditempati ibu itu. Ikhlas dong-dapat pahala. Temenku pindah gabung himpit-himpitan dengan temen-temenku yang  duduk di jok belakangku.

Mungkin terlalu kecapean ibu itu pede naroh anaknya di pangkuanku. Supriz aja, aku kaget, manggut mengiyakan. Bukan pekerjaan yang berat, setidaknya dibanding jika harus memangku Butak yang rewel-bawel(balita kale si Butak..).

Cuman, nangis engga ya anak kecil  itu deket aku sama temen-temen yang berambut gondrong?

Ternyata nggak nangis. Siplah! Aduh adik kecil jangan nangis ya.. Tapi aku gak ambil resiko, demi amannya handuk yang aku kalungkan di leher aku buat kudung rambutku yang panjang, ah-siapa tahu adik kecil berubah jadi nangis lama-lama ngeliat aku.

Anak-anak pada seneng semua liat adik kecil itu. Henk, vokalis itu berkali narik handuk di kepalaku biar adik kecil itu takut. Tapi engga tuh, adik kecil tetep diem anteng. Main ciluba sama cubit dikit pipi adik itu. Si Butak ngusap-usap rambutnya, seperti gemes pengen cepet nikah punya anak.

Anak-anak juga berebutan bermanis-manis ngomong sama ibu muda itu. Ada yang basa-basi nanya alamat segala, ato nanya apa ibu itu punya sodara cewe, ato sembarang lainnya.. Eh-jadi curiga?! Haa..pantesan aja, ibu muda itu kalo diperhatiin dari deket orangnya cantik manis. Ramah lagi. Anak-anak dikasih maem kue-kue bawaannya. Hmm-jadi tersanjung, ternyata ada juga ibu baik hati yang ngga anti sama anak gondrong berantakan. Percaya saja biarin anaknya di pangkuan orang yang baru saja dikenal.

Lama-lama adik kecil itu tertidur. Tidur..tidur yang nyaman di pangkuanku adik kecil..di antara cowo-cowo manis berambut gondrong (hihi…)

Waktu berlalu bagi Ilalang. Menyisakan lembar-lembar diary yang mesti ditulisi lagi.

Category : cerpen

Rumpun Duri Ranupane (5)

Tetapi tidak, namanya Danny!

Waktu berlalu bagi Ilalang. Menyisakan lembar-lembar diary yang mesti ditulisi lagi. Pada acara festival musik di kampusnya kembali dia menemukan lelaki misterius itu. Wajahnya yang masih ia hafal ada di antara kerumunan penonton. Ilalang tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengulangi kesalahannya. Ia datangi lelaki itu sekaligus memulai alur baru bersama Danny, lelaki yang menolongnya di telaga Ranupane.

Dan cerita bergulir semudah embun menetes dari ujung daun. Ilalang bersama Danny. Dalam suka dan keceriaan hubungan mereka. Jalan-jalan di kota mereka, nonton konser bareng, atau berburu tanaman langka di hutan. Bahkan Ilalang jadi suka hal baru yang dahulu tidak menjadi hobinya, ia sering ikut Danny naik gunung, sekalipun belum pernah sampai puncak karena tak tahan dingin. Setahun lebih Ilalang bersama Danny. Selama itu pula ia tak bisa mengartikan semua kebaikan dan segala perhatian Danny untuknya. Apakah kasih sayang seorang sahabat, atau cinta Danny untuk seorang gadis bernama Ilalang?

Ilalang sendiri tak yakin dengan hatinya. Yang jelas ia akan sangat rindu jika dalam hitungan minggu Danny tak berkunjung ke rumahnya. Kangen dalam posisi seorang sahabat? Karena sampai saat itu ia masih bersama Reno, meski hubungan mereka sudah kritis untuk terselamatkan.

Selainnya, ia akan sangat merasakan nyeri di hatinya jika Gading, gadis manis itu, selalu ikut pendakian-pendakian yang di lakukan Danny. Tentang ini Ilalang pernah menanyakan langsung waktu Danny datang ke rumahnya.

“Gading itu pacar kamu, ya?”

Danny hanya tersenyum tak menjawab. Dia asyik menyisir-nyisir daun Nolina yang mulai kerdil dan menggulung hampir mati.

“Bener kan?! ulang Ilalang jengkel.

“Terserah kamu lihatnya sebagai apa, Permaisuri kali ya..!” jawab Danny sekenanya

Kalau sudah begitu Ilalang akan memilih tak berkata-kata selanjutnya. Dia malas menebak-nebak arti canda atau kesungguhan sikap lelaki itu. Begitupun ketika ia menyinggung kearah yang  lebih jelas. Dia selalu pada posisi mengambang di ending ceritanya.

“Sekali-kali kita rayakan valentine dong….” Ajak Ilalang waktu itu

“Di mana..?” tanyanya

“Di rumah saja…terserah di rumahku atau di rumah kamu”

Danny memikir-mikir sejenak, kemudian, “…valentine tanggal berapa, sih?”

Ampun! Ilalang melengos jengah. Hah!

“Maksudku….,” Danny meralat bicaranya,” valentine masih berapa hari lagi? Mungkin aku nggak bisa, besok aku ke Solo ke rumah bulik..kira-kira seminggu…jadi doakan saja aku bisa pulang sebelum valentine….”

Valentine day, hari yang muram bagi Ilalang. Danny tak datang. Masih di Solo atau entah berada di dunia sebelah mana. Ilalang mengurung diri dalam kamarnya meredam rasa bencinya terhadap lelaki itu.

Baru dua hari kemudian Danny muncul. Ilalang sibuk di taman memindah-mindah bunga yang akhir-akhir ini mulai tak terawat. Ia tak mengetahui kedatangan Danny.

“Hai..” sapa Danny dari luar taman. Dia tampak malu memandang Ilalang yang hanya mengenakan celana pendek dan atasan tanpa lengan.

Ilalang menoleh dan menatap lama lelaki di depannya. Tidak bisa! Dia tidak bisa marah terhadap lelaki yang kerap hadir di mimpinya itu. Ia ulaskan senyum. “Lama banget di Solo?”

“Iya, baru tadi malam sampai rumah,” kata Danny menghampiri Ilalang dan menyerahkan polybag berisi tanaman nolina .”..milik kamu hampir mati kan?”

“Beli di sana?”

“Nggak, bawa dari rumah” jelas Danny, “…yang ini asli Solo,” lanjutnya memamerkan kardus kecil.

“Oleh-oleh kas Solo, ya?”

“Ini aksesoris batik, tapi buat mama kamu…”

“Buat aku mana?” Ilalang tersenyum masam. “Mama ada di kebun belakang…”

Danny berlalu tak lupa berbisik,” yang lebih kebuka nggak ada ya?”

Ilalang tertawa dan meninju lengan lelaki itu.

[cerpen] Rumpun Duri Ranupane