Langit Pucat Fort Marlborough [2]
“Kayak apa kota Semarang?”
“Kayak apa, ya?” aku memikir-mikir, “…kayak banjir deras…menghanyutkan dan cepat!”
“Cepat apanya?”
“Cepat banjirnya!” kataku lantang. Pipit tertawa. Aku paling suka melihat dia kalau tertawa lepas.
“Sekarang seperti apa Bengkulu?” balasku bertanya
Ia tak segera menjawab. Kepalanya mendongak keatas. Eksyen yang juga aku rindukan.
“Cari apa?” potongku cepat.
“Cari malaikat kasih contekan jawaban!” jawabnya ringan. Ia menbuatku menunggu lama. “…..seperti apa,ya ….. seperti Rafflesia, indah dan tak ada duanya.”
Mungkin benar jawabannya. Bengkulu ini seperti Rafflesia Arnoldii, bunga langka yang kadang terlihat dan ditemui di hutan-hutan Bengkulu. Begitupun kota ini bagiku. Kadang mekar di hatiku, kadang aku bosan dan ingin meninggalkannya. Apa yang ditawarkan kota Bengkulu bagiku? Kota tepi pantai? Aku bahkan lebih suka Kepahiang, bagian Bengkulu paling atas. Kota kecil yang eksotis menurutku. Hawa dingin yang menyayat tubuh, suasana tradisional yang masih kental, atau perkebunan kopi di pegunungan. Sama-sama di dataran tinggi mungkin orang lebih memilih Curup yang lebih ramai dan kota.
“Nggak! Bengkulu ini bukannya indah tetapi ngeri!” protesku
“Nggak bisa!” ia menukas cepat.
“Lho-kamu sendiri yang bilang mirip bunga Rafflesia. Bunga Rafflesia mengerikan!”
Aku jadi akrab dengan Pipit yang mula pertama kujumpai di Fort Marlborough di suatu sore. Seorang teman yang kepadanya aku berbagi rasa, dan seorang yang membangkitkan semangatku tinggal di perantauan, apalagi setelah lama tak ada kabar dari Tindra.
Aku seringkali menghabiskan sore di Fort Marlborough, benteng sisa peninggalan jaman kolonial. Menikmati senja kalau sudah tak ada pekerjaan yang mesti dilembur. Lain lagi hari Minggu, pagi buta sudah berlari-lari sampai pantai Panjang. Hembusan angin laut seakan membawa kepenatan kerja sepekan. Entah ini baik untuk kesehatan atau malah sebaliknya. Aku hanya suka saja melakukannya. Dan pasti Pipit ada menemaniku.
Saat-saat pertama aku melihatnya sering bersama teman lelakinya. Aku yakin itu kekasihnya. Tiap kali aku ke benteng selalu kudapati mereka. Pasangan yang serasi dan membuat iri tiap mata yang memandang. Hingga suatu sore tak kudapati pemandangan itu. Baru setelah mengenalnya, aku tahu bahwa mereka sudah putus cinta. Tiap kali kutanyakan sebabnya, tiapkali pula aku tak mendapatkan jawaban.
“Masih kecil jangan pacaran dulu, nona…..” nasehat yang sering kulontarkan kepadanya.
Ia pasti berkilah. “Salah! Pacaran itu mata pelajaran nomor satu di SMA…..”
Bersamanya aku jadi tahu banyak tempat yang wajib dikunjungi di Bengkulu. Suatu ketika di perjalanan mendaki bukit Kaba ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sewaktu Pipit membuka tas daypack-nya, tak sengaja ada benda yang jatuh. Aku tahu itu adalah kepingan segiempat yang kuberikan kepadanya. Aku memungutnya dan alangkah terkejutnya aku. Di kepingan itu ditempel foto close up-ku. Aku tertawa, sebaliknya dia kelihatan gugup dan secepatnya merebut kemudian memasukkannya lagi ke tas.
“Kamu mau jadi pacarku?” gurauku suatu waktu.
“Nggak mau!” jawab Pipit cepat. “Kamu bilang anak kecil tidak boleh pacaran dulu, lagian nggak enak pacaran sama kamu…..”
Aku tertawa dan menanyakan alasannya. Pipit hanya tersenyum.
Aku suka berada di dekatnya. Aksen bicaranya mampu membuatku ikut ceria seperti yang ditawarkan pada bening matanya.
[cerpen] Langit Pucat Fort Marlborough
* Langit Pucat Fort Marlborough [1]