lanjutan : Di Sini Tak Ada Setan

Category : cerpen

….

 

Rupanya bukan Pos II, melainkan sebuah sumber air. Tak ada siapa-siapa. Giok mencari-cari cahaya yang tadi dilihatnya. Nihil! Giok beringsut dan menurunkan backpack di punggungnya. Mengambil jerigen  dan mulai mengisinya dengan air sumber. Hati-hati sekali, karena harus memisah-misah potongan ilalang yang ikut melayang di dalam air.

Sampai kemudian……..

“Mo’ mandi malem, ya?” terdengar suara yang tak begitu jelas. Giok celingukan mencari asal suara itu, meyakinkan pendengarannya.

“Nggak takut masuk angin?” terdengar lagi suara bersamaan munculnya sosok makhluk di seberang sumber air. Menatap Giok dan memperlihatkan sebaris giginya.

Tapi gigi itu…?? Giok memperhatikan gigi makhluk itu. Lalu….

“K-K-Ku…mis..eh…k-k-kun..kuntilanaaaaakkkkk….!! Jerit Giok meloncat dan berniat berlari secepatnya. Ia tak memperdulikan senternya masih tergeletak di pinggir sumber air. Tak ayal, baru beberapa meter kakinya tersandung dan ia terjerembab ke gerumbul semak.

Giok sangat ketakutan, apalagi ketika sosok setinggi dirinya itu mendekat. Ia hanya bisa pasrah dan membenamkan mukanya ke semak. Matanya terpejam dan tubuhnya menggigil. “Tuhan…s-semoga ini hanya m-mimpi…s-semoga d-dia L-Lunamaya..a-atau R-Rihanna…a-atau s-siapa s-saja…p-pokoknya j-jangan k-kuntilanak….” Doa Giok hampir menangis.

Giok makin membenamkan muka ke semak, ketika sesuatu yang dingin mengguncang-guncang punggungnya. Kalo tidak ingat dirinya seorang cowok, rasanya ia pingin meraung menangis sejadi-jadinya.

“Heh…gue bukan kuntilanak..gue manusia!” ucap makhluk itu akhirnya.

Giok masih belum percaya. Berbagai pikiran berkecamuk di otaknya. Bagaimana kalau makhluk itu bohong dan kuntilanak beneran? Tapi…

Tapi…gigi makhluk itu….gigi makhluk itu pake kawat…masak iya kuntilanak pake kawat gigi?

Rasa penasaran mengalahkan ketakutan Giok. Ia balikkan tubuh. Perlahan matanya dibuka sebelah (jaga-jaga kalo yang dilihatnya kuntilanak beneran, lumayan, mata sebelahnya ga’ ngeliat!)

“Sekarang percaya?” Tanya makhluk itu menyorotkan senter ke muka Giok.

Giok membuka mata sebelahnya. Kini ia percaya makhluk di depannya manusia beneran, cewek kece lagi! Rasa takutnya langsung hilang.

“:Kacian deh kamu…kalo penakut nggak usah naek gunung sendirian, untung kamu belum ketemu kuntilanak beneran….” Kata cewek itu.

“B-Belum..?” rasa takut Giok muncul lagi.

“Iya. Biasanya sejam lagi dia nongol. Tapi dia baek, kok, nggak gigit orang…, Cuma nyekek!”

“Jangan, ah!” potong Giok cepat, “eh iya, gue Giok, elo?” lanjutnya menyorongkan tangan malu-malu.

“Avril Lavigne…” sahut cewek itu pede.

“Sk8r boy dong..yang bener ah!”

“Hi…hi…,” cewek itu tertawa. “Nggak! Gue Meira Aila..” ralatnya.

Meira Aila? Yang suka masuk tipi itu..??

Giok baru saja akan berdiri ketika HP-nya mengeluarkan bunyi, ada SMS lagi :

Enak kale yee, ketemu kuntilanak cakep?

Busyet, siapa sebenarnya yang mengirim SMS teror ini? Giok menatap mata Meira, yang dibalas sahutan, “cewek kamu?”

Giok menggeleng lemas. “Orang ini coba nakutin gue sejak dari bawah,” jelas Giok.

“Kita ke tendaku aja, yuk! Di sana lebih aman, lagian, kayaknya sebentar lagi kuntilanak mo’ lewat sini…” ajak Meira.

“Meira!! Jangan bilang-bilang itu lagi!” Giok langsung meloncat di belakang Meira.

Keduanya menuju tenda yang tak jauh dari sumber air  itu.

“Lo bener manusia khan?” Tanya Giok masih was-was. Beberapa kali matanya mengawasi langkah Meira. Jangan-jangan nggak nyentuh tanah?

Sementara itu, tiga puluh meter dari mereka, sosok bertaring dan berkuku panjang mengendap-endap di balik semak, terus menguntit.

…………………………

Meira ternyata baik banget. Giok bersyukur bertemu gadis itu, yang tampangnya mirip Marsha T, bintang FTV di film ’Cintaku Full Nggak 1/2 Setengah’. Bahkan Giok diperbolehkan tidur di tendanya, sementara dia asyik menulis cerita di luar.

Giok masuk ke tenda dan menggelar sleeping bag.

Tuitt…tuitt…tuitt…!! Ada SMS lagi di HP Giok.

Rasanya emang bener ada setan. Sia-sia lo nyungsep ke sleeping bag….

Huaaa…s-s-setaaannnn!!! Giok langsung panik. Tangannya merogoh sakunya. Sebilah pisau Victorinox tergenggam. Ia bersigap..

Siapa yang mengirim SMS? Siapa yang tahu kalo ia lagi tidur di sleeping bag? Siapa lagi kalo bukan setan?!

Kriniig..kriingng…kriiingngng…!! Ada bunyi lagi. Sekarang bukan SMS, ada suara di HP Giok

“Hallo…ini layanan telepon premium.
anda telah menerima empat SMS.
ketik huruf pertama SMS-SMS tadi.
selanjutnya kirim ke nomor ini…. ”
kata suara di telepon itu.

Giok sepertinya mengenal suara itu. Dia tak langsung menjawab dan segera membuka kotak masuk HP-nya. Membaca empat SMS teror itu lagi dan memperhatikan huruf-huruf pertamanya.

Dan….

“Haaahhhhh……jeleeeekkkkk…!!!!” teriak Giok kegirangan. Dia sekarang tahu siapa pengirim SMS misterius itu. “Jeleeekkk…jeleeekkk…jeleeekkk…!!”

Lima menit kemudian, Giok telah meringkuk di sleeping bag. Suara dengkurnya melesat, beradu dengan deru angin di luar tenda.

Giok tak tahu bahwa sosok bertaring dan berkuku panjang yang selalu mengikutinya dari bawah, berjalan terseret-seret mendekati kemah. Lidahnya terjulur.

Bukannya takut Meira malah mendekati makhluk itu.

“Aduh kasihan…kamu pasti lapar dan kedinginan…” kata Meira mengelus-elus makhluk itu, “..sebentar, aku ambilkan makanan…”

Meira segera menuju tenda yang di dalamnya Giok sedang tertidur pulas. Makhluk itu mengikuti.

Meooong…meooong

……………09STOP04……………

 

( special gift for anak-anak Dorsal Mrangkang :
 “naek gunung lagi, yuk! Gak ada setan, kok. Mereka pada ribet main ‘tak-umpet di tipi!”)

 

.: gitu aja ceritanya, kalo pengen baca dari awal klik di sini

 

.

Di Sini Tak Ada Setan

Category : cerpen

Pier & Metal Death : Di Sini Tak Ada Setan

 

 

 

 

 

Sosok bertaring dan berkuku panjang itu terus mengikuti langkah Giok. Matanya yang setajam pisau cukur menembus kepekatan malam. Merasa ada yang menguntit, Giok mempercepat langkahnya. Sesekali ia menoleh dan menyorotkan senter ke belakang. Sosok itu langsung menyelinap ke balik pohon. Nyali Giok menciut. Tengkuknya merinding dan bulukuduk mulai berdiri. Giok menggaruknya. Amit-amit, sekarang merembet ke bulu keteknya ikutan meremang!

 

 

Tuit…tuit….tuittt…!! HP Giok berbunyi dan munculkan SMS:

Pulang yuk! Di gunung banyak setan. Ada drakula, pocong, mayat hidup tanpa kepala, Frankenstein…eh-ada juga Teletubbies. Hiii…takut!!

“Nggak takut!” omel Giok setelah baca SMS itu. SMS bernomor tak dikenal di kotak masuk HP-nya. Siapa malem-malem gini kurang kerjaan, nakutin orang? Giok melirik jam di layar HP. “Ampun, jam setengah delapan!”

Giok terpaksa berjalan sendirian menyusul teman-temannya yang telah berangkat naik gunung duluan.

“Hoi..kalian ada di mana?” Giok mencoba menghubungi salah satu nomor HP temannya. Setelah beberapa lama baru tersambung.

“Mayday-mayday…di sini Elang….suara anda tak begitu jelas di terima di pos dua….sebutkan posisi anda, babi hutan!” kata temannya di seberang.

“Sialan, nggak lucu!” maki Giok protes dengan sebutan dirinya. “Gue udah lewat pos satu semenit tadi…Pos duanya masih jauh nggak? Eh kalian jangan nerusin jalan, nunggu gue dulu ya…”

“Ha….ha….taon depan elo baru nyampe pos dua….naek ojek aja biar cepet!”

Ih! Setelah itu di tutup. Giok menggerutu.

Giok kembali berjalan. Pohon-pohon dan belukar di tepi jalur pendakian semakin rapat, seperti makhluk menyeramkan yang senantiasa melirik ke arahnya. Giok tercekat. Bibirnya gemelutuk. Akh, andai saja anak-anak nggak ninggalin dia sendirian? Ratap Giok melas.

 

 

Kenapa Giok bisa terpisah dari anak-anak? Ceritanya gini:

Rencananya mereka tujuh orang, berangkat naik gunung bersama. Ditunggu selama sejam lebih, Giok belum juga muncul. Nggak tahunya, anak itu lagi di salon buat berdandan (iiiiihhh…, mo’ naek gunung aja pake dandan segala!). Anak-anak pada dongkol dan mutusin naik duluan. Tinggal Giok sendirian, berangkat menyusul mereka. Sebenarnya Giok nggak akan nekat-nekat amat kalo saja di rombongan itu nggak ada…Ajeng, cewek manis yang diam-diam ditaksirnya. Giok lagi pedekate kepadanya. Ia nggak mau keduluan anak-anak yang saat ini pasti sudah pada tebar pesona ke gadis itu.

Malam kian mencekam. Derak dahan pepohonan dihembuskan angin terdengar mengerikan. Bau lumut hutan bercampur daun yang membusuk menambah kesan angker dan mistis jalur yang kini dilewati Giok.

 

 

“Duh, Tuhan…semoga di depan ada pasar malem nyasar…jadi nggak menakutkan kayak gini….” Doa Giok begitu menoleh ke belakang, dilihatnya ada sesuatu bergerak-gerak di semak. Sosok yang dari tadi selalu mengikutinya? Hiyyaaa!! Giok palingkan muka.

Giok mempercepat langkahnya. Beberapa kali kakinya tersangkut akar pohon yang melintang di jalan. Giok hampir putus asa. Sambil terus berjalan, bibirnya komat-kamit berdoa apa saja biar tidak teringat hal-hal menyeramkan. Atau, ia mencoba mengingat cerita-cerita lucu tentang gunung.

“Gunung ini aman, kok,” kata yang jaga basecamp tadi, “nggak ada makhluk-makhluk serem dengan lidah terjulur nakutin pendaki….karena…..emang mereka pada nggak punya kepala!”

Atau, cerita bang Karno yang jualan batu akik di pasar. “Kalo cari batu akik, di gunung tempatnya. Di sana ada biji mata yang nempel di pohon-pohon besar. Kalo disentuh, biji mata itu bisa berubah jadi batu akik..,” kecap bang Karno waktu itu.

Lain lagi cerita sopir mobil sayur yang mengantar ia ke basecamp. “Orang naek gunung sering ketemu ama tangan yang melayang-layang. Ntar kalo ketemu tangan itu, suruh aja kitik-kitik pinggang elo, biar elo ketawa dan nggak jadi takut….”

Ada lagi,

Astaga! Kok, ceritanya nggak lucu, serem malah! Giok begidik sendiri.

Tuitt….tuitt….tuitt… HP Giok berbunyi, ada SMS lagi dari nomor misterius tadi:

Ih-serem! Pernah denger cerita orang ilang di gunung? Masih mending kalo ditemu kuntilanak. Kalo kolornya doang yang ditemu sama dia? Malu-maluin!!

Sama seperti yang pertama, tak ada identitas si pengirim SMS. Giok pencet nomor itu. “Elo siapa, monyet!? Jangan nakutin gue! Gue takut apa!!”

Tak ada jawaban. Giok menyerah. Ia menerka-nerka siapa pemilik nomor itu. Ajeng-kah, karena sampai saat ini ia tak tahu nomor HP-nya, atau, mungkin saja nomor baru milik anak-anak yang bermaksud ngerjain dia?

Giok membaca lagi SMS itu, dan segera teringat dengan celana kolor yang dipakenya di balik celana rimba. Dia langsung ketawa membayangkan seandainya ada kuntilanak nemu kolornya yang motif kotak-kotak gambar bunga…seru! Rasa takutnya sedikit berkurang.

Tambah seneng lagi ketika dilihatnya kerlip samar di kejauhan. “Nah, itu semoga anak-anak di pos II,” gumam Giok gembira.

“Ajeeeengngng…!!” panggil Giok lantang.

Tak ada sahutan, selain gema suaranya yang berbalik arah masuk ke telinga.

“Ajeeeengngng….!!” Giok mengulangi lagi lebih keras.

Sama saja, tak ada sahutan selain gema suaranya seperti tadi.

“Asguuusss…Pieeerrr….Pauuuuull….” Kini ganti memanggil nama teman-temannya.

Aneh, kini hening, tak terdengar gema! Hingga empat detik kemudian terdengar gemuruh  diikuti suara menggelegar.

“Huaaaa….huaaaaa….huaaaaa….!!!!”

Giok terlonjak kaget. Jantungnya seperti terpental dari rongga dada. Terbirit-birit ia menyeret kakinya dan berlari secepat…. babi hutan. Setannnn!!!

…………………………

Rupanya bukan Pos II, melainkan sebuah sumber air. Tak ada siapa-siapa. Giok mencari-cari cahaya yang tadi dilihatnya. Nihil! Giok beringsut dan menurunkan backpack di punggungnya. Mengambil jerigen  dan mulai mengisinya dengan air sumber. Hati-hati sekali, karena harus memisah-misah potongan ilalang yang ikut melayang di dalam air.

Sampai kemudian……..

“Mo’ mandi malem, ya?” terdengar suara yang tak begitu jelas. Giok celingukan mencari asal suara itu, meyakinkan pendengarannya.

“Nggak takut masuk angin?” terdengar lagi suara bersamaan munculnya sosok makhluk di seberang sumber air. Menatap Giok dan memperlihatkan sebaris giginya.

Tapi gigi itu…?? Giok memperhatikan gigi makhluk itu. Lalu….

“K-K-Ku…mis..eh…k-k-kun..kuntilanaaaaakkkkk….!! Jerit Giok meloncat dan berniat berlari secepatnya. Ia tak memperdulikan senternya masih tergeletak di pinggir sumber air. Tak ayal, baru beberapa meter kakinya tersandung dan ia terjerembab ke gerumbul semak.

 

 

Giok sangat ketakutan, apalagi ketika sosok setinggi dirinya itu mendekat. Ia hanya bisa pasrah dan membenamkan mukanya ke semak. Matanya terpejam dan tubuhnya menggigil. “Tuhan…s-semoga ini hanya m-mimpi…s-semoga d-dia L-Lunamaya..a-atau R-Rihanna…a-atau s-siapa s-saja…p-pokoknya j-jangan k-kuntilanak….” Doa Giok hampir menangis.

 

 

Giok makin membenamkan muka ke semak, ketika sesuatu yang dingin mengguncang-guncang punggungnya. Kalo tidak ingat dirinya seorang cowok, rasanya ia pingin meraung menangis sejadi-jadinya.

“Heh…gue bukan kuntilanak..gue manusia!” ucap makhluk itu akhirnya.

Giok masih belum percaya. Berbagai pikiran berkecamuk di otaknya. Bagaimana kalau makhluk itu bohong dan kuntilanak beneran? Tapi…

Tapi…gigi makhluk itu….gigi makhluk itu pake kawat…masak iya kuntilanak pake kawat gigi?

 

 

Rasa penasaran mengalahkan ketakutan Giok. Ia balikkan tubuh. Perlahan matanya dibuka sebelah (jaga-jaga kalo yang dilihatnya kuntilanak beneran, lumayan, mata sebelahnya ga’ ngeliat!)

“Sekarang percaya?” Tanya makhluk itu menyorotkan senter ke muka Giok.

Giok membuka mata sebelahnya. Kini ia percaya makhluk di depannya manusia beneran, cewek kece lagi! Rasa takutnya langsung hilang.

“:Kacian deh kamu…kalo penakut nggak usah naek gunung sendirian, untung kamu belum ketemu kuntilanak beneran….” Kata cewek itu.

“B-Belum..?” rasa takut Giok muncul lagi.

“Iya. Biasanya sejam lagi dia nongol. Tapi dia baek, kok, nggak gigit orang…, Cuma nyekek!”

“Jangan, ah!” potong Giok cepat, “eh iya, gue Giok, elo?” lanjutnya menyorongkan tangan malu-malu.

“Avril Lavigne…” sahut cewek itu pede.

“Sk8r boy dong..yang bener ah!”

“Hi…hi…,” cewek itu tertawa. “Nggak! Gue Meira Aila..” ralatnya.

Meira Aila? Yang suka masuk tipi itu..??

Giok baru saja akan berdiri ketika HP-nya mengeluarkan bunyi, ada SMS lagi :

Enak kale yee, ketemu kuntilanak cakep?

Busyet, siapa sebenarnya yang mengirim SMS teror ini? Giok menatap mata Meira, yang dibalas sahutan, “cewek kamu?”

Giok menggeleng lemas. “Orang ini coba nakutin gue sejak dari bawah,” jelas Giok.

“Kita ke tendaku aja, yuk! Di sana lebih aman, lagian, kayaknya sebentar lagi kuntilanak mo’ lewat sini…” ajak Meira.

“Meira!! Jangan bilang-bilang itu lagi!” Giok langsung meloncat di belakang Meira.

Keduanya menuju tenda yang tak jauh dari sumber air  itu.

 

 

“Lo bener manusia khan?” Tanya Giok masih was-was. Beberapa kali matanya mengawasi langkah Meira. Jangan-jangan nggak nyentuh tanah?

Sementara itu, tiga puluh meter dari mereka, sosok bertaring dan berkuku panjang mengendap-endap di balik semak, terus menguntit.



…bersambung…
(baca lanjutannya klik di sini yaa…)



( special gift for anak-anak Dorsal Mrangkang :
“naek gunung lagi, yuk! Gak ada setan, kok. Mereka pada ribet main ‘tak-umpet di tipi!”)

Nama band mereka Metal Death yang artinya : merdeka dan semau gue (iiihh, jauh amat!)

Category : cerpen

Pier & Metal Death

Female Vocal (1)

Nama band mereka Metal Death yang artinya : merdeka dan semau gue (iiihh, jauh amat!).

Salma, music studio

at 11.07 am

Ruang studio musik itu nyaman dan canggih. AC-nya lancar dan fasilitas peralatannya lengkap. Lantainya ditutup karpet seempuk kasur. Bikin betah kalo lagi latihan band. Dinding-dindingnya dilukis gambar pemandangan alam. Maklum aja, tempat itu dulunya studio photo yang dirombak jadi studio musik. Gak heran jika di luar studio juga dibuat taman. Ada ayunan, ada kolam kecil yang di atasnya melintang jembatan kayu, ada juga patung-patung lucu. Tapi yang paling menyenangkan, di pojokan taman ditanami pohon belimbing yang selalu berbuah. Kalo booking tempatnya lama, suka dikasih buah belimbing sama yang punya studio.

Pier bersama teman bandnya keluar ruangan studio begitu batas waktu sewa studio habis. Dan segera digantikan serombongan anak SMP yang nekat bolos pelajaran buat latihan band. Berantakan sekali latihan hari ini. Dua jam ngulik lagu baru, gak satupun nada pas kedapet. Tambah sebel lagi saat alarm meraung ngusir mereka. Bikin kuping serasa diiris-iris. Tapi mending! Dulunya studio itu pernah pake kentongan untuk nandain jam latihan usai. Kesannya jadi kayak maling yang ketangkep hansip kelurahan. Untung sekarang sudah dipasangi alarm. Sembari nunggu bos mereka yang masih di ruang kontrol, mereka duduk-duduk di lantai teras studio membuka bekal rantang susun yang dibawa dari rumah.

Nama band mereka Metal Death yang artinya : merdeka dan semau gue (iiihh, jauh amat!). Band bentukan Pier sama kakaknya Asgus, dan satu temennya yang manis : Giok Watusamin, serta satu temennya lagi yang (gak) manis si Butak Wangonot (baca : si Butak dari gua hantu!). Diasuh oleh Paul, manager sekaligus bos yang selalu ngasih subsidi ke meraka, juga diasuh oang tua masing-masing tentunya. Style meraka cukup serem :  Poprock! Disegani dan sering diundang main di panggung-panggung mini. Diundang di pembukaan minimarket, di peresmian pabrik minicompo, di pergelaran fesyen rok mini, dan masih banyak lagi..pokoknya yang mini-mini (Cita-cita sih pingin main di Taman Mini Indonesia Indah)

Paul berjalan keluar ruangan menghampiri anak-anak. Sementara Asgus dari tadi masih ketiduran di dalam studio. Mungkin kecapean betot senar bass yang menurutnya kegedean. Pinginnya sih pake senar pancing biar agak ringanan dikit! Tapi lagi enakan tidur,  sebentar juga dah digebukin pake pedal drum diusir sama pemilik studio. Asgus misuh-misuh

“Permainan kalian jelek hari ini!” kata Paul dengan muka lusuh, kayak abis ujian masuk pegawai negeri.

Anak-anak Cuma mesem. Mereka pada sudah hafal bos Paul pasti bilang begitu tiapkali kelar latihan. Tapi pernah pas listrik studio mati dan mereka gak jadi latihan bos Paul bilang ,”hari ini…permainan kalian jelek!” (Yeee…gak beda!)

“Kalian mestinya maen rock keras, bukan lagu daerah!” tambahnya dengan muka yang kini jadi garang. Anak-anak mengkeret. Alamat ga baik?! Anak-anak saling pandang.

“Eh, vocal gue tadi masuk gak, sih?” bisik Giok ke Pier takut kedengaran Paul.

“Iya, entar besok senin depan, sekalian bayar duit kursus” desis Pier gak nyambung. Giok manggut-manggut setuju(?!)

“Apa!!” samber Paul ganas. “Gue, lebih baik denger Butak kejepit pintu daripada denger vocal Elo tadi. Elo harusnya pake feeling kalo nyanyi, asal tereak aja..!” lanjutnya sadis nunjuk idung giok.

“Bukannya vocal gue, tapi suara gitarnya aja yang gak masuk” Giok coba berkelit.

“Mampus semua! Suara gitar, bass, vocal…loncat-loncat gak karuan kayak monyet kelaparan” kata Paul masih galak.

“Gimana gue mo’ maen gitar kalo yang ngedrum …monyet beneran!” Pier menukas gak mau kalah, ngelirik ke monyet..eh Butak.

“Jangan salahin gue, dong” iba Butak ngumpet di kolong meja teras studio, “gue udah bener, drummnya aja yang gak setem..”

“Eeee..buruk tampang cermin lo makan!” koor serempak anak-anak.

Semua saling menyalahkan satu sama lain. Ternyata gak gampang bikin band. Rupanya mereka lupa pada hal paling mendasar, bahwa kemampuan mereka cekak-cekak doang. “Ngebandlah untuk nyehatin tubuh dan jiwa, gak usah muluk-muluk bisa rekaman di Amerika “ kata pepatah yang sepertinya sudah tak berlaku lagi bagi anak-anak.Mereka beneran pingin rekaman. Tapi baru tahap latihan saja pada perang dunia, gimana nanti kalo sudah bagi-bagi duit royalty.

“Perang dunia di studio itu berakhir kira-kira jam dua, saat cacing di perut ngitik-ngitik usus. Laper!

Dan di tengah-tengah suasana itu Paul dapat ilham.

“Yeeesss…oke…yess…okeee…eureka….eureka….” teriak Paul jingkrak-jingkrak kegirangan. “Kita mesti ganti aliran : old school rock with female vocal. Kita pake vocal cewek!” kata Paul mantep.

Yea, band itu butuh vokalis cewe sekaligus ngerubah aliran musik mereka. Anak-anak saling bengong gak rela dengan perubahan itu. Pier menatapi langit yang tiba-tiba berawan. Ngebayangin perubahan besar yang bakal terjadi. Asgus mijit-mijit jempolnya seolah pingin ngelepasin. Giok tertunduk pilu. “Kalo gue dipecat dari posisi vocal, gue mo’ nyambi apa?” ratapnya pilu. Sedang Butak memandang hampa kearah rantang susun yang emang udah kosong isinya.

“Enggaaaa maauuuu…hiks hiks hiks…” suara mereka serempak hampir nangis.

—————————



[cerpen] Female Vocal

–  Female Vocal (1)

–  Female Vocal (2)

–  Female Vocal (3)

–  Female Vocal (4)

Nama vokalis cewe itu: Nurma Murnalisa Hepi Adhitama Sekar Kembang Setaman Sri Maharani Endang Waluyo

Category : cerpen

Pier & Metal Death

Female Vocal (2)

Nama vokalis cewe itu: Nurma Murnalisa Hepi Adhitama Sekar Kembang Setaman Sri Maharani Endang Waluyo


Nyatanya mereka mau!

Itu setelah Paul menjanjikan bahwa lagu mereka bakalan diikutkan di album kompilasi Rock Metal sejawa-Bali. Kalo ga lulus seleksi, terpaksa dimasukkan ke kompilasi Rock Metal se Asia Tenggara! Tapi bukan hanya itu saja sebabnya, melainkan karena bergabungnya vokalis baru yang bikin semangat mereka membumbung bak balon gas lepas dari pegangan. Suprais banget! Giok juga setuju, dia masih ke pake di Backing Vokal dan ga jadi nganggur.

Nama vokalis cewe itu: Nurma Murnalisa Hepi Adhitama Sekar Kembang Setaman Sri Maharani Endang Waluyo (Busyet, anak mana sih? Biar diupah gocap ga mau kalo suruh nyebutin lagi. Susah dihafal. Kalian juga pasti ga hafal! Mending, daripada si Butak yang emang paling susah hapalannya. Ngapalin nama depannya aja kacau. Dia selalu salah manggil, kadang : Narmo, kadang lagi : Marno! Hi..hi….)

Tapi yakin, semua pasti udah pada kenal.

Dia memang orang terkenal. Wajahnya sering nongol di layar tipi ato di poster-poster di pinggir jalan. Dia seorang model iklan, yang udah jelas cakepnya selangit. Wuih! Anak-anak pada heran, bisa-bisanya Paul ngelobi tuh cewe. Disamping cakep, orangnya juga mudah gaul. Buktinya pertama kali latihan sudah sekamar sama anak-anak (namanya juga latihan band). Suaranyapun merdu.

“Vokal kamu bagus. Kenapa ngga gabung di band yang lebih gede?” tanya Pier waktu briefing di rumah Paul.

Nurma Cuma jawab kalem. “Ah, sekarang banyak band gede. Saya cari band yang model ketat sama dikit  kebuka”

“Ato kerja lain yang memerlukan vocal merdu kamu” tambah Asgus

“Iya, Nur” Giok ikut nimbrung. “Lo bisa daftar ke radio jadi penyiar, ato kerja di tipi jadi Presenter. Duitnya lancar! Temen gue aja sekali pulang bisa ngantongi sejuta..,kadang dua juta. Paling sial ngantongi microphone yang sempet ketilep…”

“Enakan jadi Pembawa acara di televise, Mar” timpal Butak masih ga paham, “Ntar kalo diterima, geret aku ya..soalnya pingin banget jadi assisten lighting! Kerjanya enak, ngincer-ngincer doang pake alat canggih. Bisa ngerekam adegan saru juga…” .(nah-lo, ‘Ngga Banget’  kan si Butak?!)

“Kalian ini gimana, nggak seneng ya saya gabung di band kalian,,,? Nurma jengah. “Baik. Besok saya keluar dari band kalian!”

Anak-anak panik.

“Jangan, Nurma! Kita khan hanya pingin nyeneng-nyenengin ati kamu. Gue ga tega tampang cakep sama kelebihan kamu cuma berakhir di band ini. Sayang kan kalo disia-siakan.”

“Nggak juga. Meski saya sudah jadi model, saya seneng di band ini. Saya seperti kalian. Merangkak dari bawah. Dari hal-hal kecil kayak gini. Saya nggak akan sok artis dan lupa sama masa lalu…” sahut Nurma manis sekali.

Anak-anak ngerasa adhem mendengarnya.

—————————



[cerpen] Female Vocal

–  Female Vocal (1)

–  Female Vocal (2)

–  Female Vocal (3)

–  Female Vocal (4)

Sejak Metal Death ganti aliran dan Nurma gabung ke band itu, rating mereka naik

Category : cerpen

Pier & Metal Death

Female Vocal (3)

Sejak Metal Death ganti aliran dan Nurma gabung ke band itu, rating mereka naik

Paul benar. Sejak Metal Death ganti aliran dan Nurma gabung ke band itu, rating mereka naik. Kalo dulu dikenal sebatas komplek RT doang, sekarang Kelurahanpun tahu. ( Jelas aja, rumah mereka dekat kantor Lurah!). Berbagai tawaran main membanjir. Panggung-panggung local digempur abis-abisan. Sampai mereka nolak-nolak. Bahkan undangan ke konser Woodstock gak ditanggepi. Ya-iyalah, karena emang mereka gak disuruh maen tapi suruh bersih-bersih lapangan. Perihal Nurma, dia jadi Diva tersendiri di jalurnya. Tambah bangga, lagu mereka lolos masuk album kompilasi.

Seabis konser launching album keroyokan bareng band sekota mereka, Paul berbaik hati ngasih bonus ke anak-anak. Tiap orang dapet gelas cantik (Yeee…!) sama esok harinya ngajak mereka makan di Ayam Goreng Solo.

Anak-anak seneng banget dan dandan abis kayak mo’ ke pesta. Giok yang paling care sama penampilan, pake ke salon segala.. Macho banget dengan sanggul pasangan(iiih banget!)

“Nurma kemana, sih, belom datang?” tanya Paul begitu mereka sudah ada di mobil VW lawasnya.

“Dia ada syuting, katanya ntar nyusul belakangan” jelas Pier.

“Syuting apaan?”

“gak tau”

“Padahal setelah makan kita ada rapat perusahaan”

“Iya. Bos. Kemaren ketemu di jalan lagi syuting produk aspal. Mungkin hari ini syuting produk rambu lalulintas..” celetuk Asgus dari jok belakang.

“Kita mampir dulu ke rumah Nurma” Giok ngasih ide

“Nggak! Bensin mobil gue cekak!” Paul nggak setuju.

“Bener,Bos. Daripada nanti ga nyampe rumah makan, rugi dong ga jadi makan! Emak gak masak hari ini” sahut Butak kuatir. “sekalian kalo Nurma gak jadi datang, jatahnya dirangkepin aja ke gue”

Huuuuuu….anak-anak mendelik sewot.

Mobil melaju dan tiba di rumah makan. Ternyata Nurma sudah menunggu di sana. Anak-anak girang. Mereka berebutan cari bangku kosong. Paul, Nurma Asgus di meja yang dekat tipi.Giok di meja di pelataran yang dari situ bisa ngecengin cewe yang lagi latihan tari di sanggar seberang jalan. Pier sama Butak pilih di bangku pojok deket dapur. Mereka suka dapet ceker gratis di situ. Juga di sampingnya ada akuarium berisi ikan louhan. Pier sering ketawa sendiri kalo liat ikan itu. Nongnongnya saingan sama si Butak!

Kelar makan anak-anak dikumpulin di meja tengah. Mau ada konferensi. Dasar bandel, anak-anak pada sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Giok malah kabur ke sanggar tari. Dia ikut latihan. Rencananya mau diadaptasi untuk aksi panggungnya. Sementara Asgus sibuk ngumpulin tulang di bangku-bangku  “Buat si Cinot kucing gue yang  di rumah,” jawabnya sambil masukin tulang ke kantong plastik. Sayang, di bangku yang tadi di duduki Butak gak ditemukan tulang sedikitpun. Butak kalo makan kuat, gak bersisa sama sekali. Pinggir-pinggir piringpun ikut gempil ketelan.

Konferensi dimulai setelah anak-anak ngumpul. Paul yang ngomong.

“Hari ini permainan kalian sudah baek, teman-teman. Tapi gak berarti kita puas sampe di sini. Kita baru awal dan butuh langkah yang lebih berani untuk maju. Setidaknya lebih maju ketimbang puser Butak yang emang udah maju dari dulu. Gue ada rencana kita bikin album penuh Full Length. Ntar gue cari tambahan dana buat modal kita. Kita rekaman di label yang lebih gede. Kalo udah kita daftar jadi Caleg Partai…eh maksudnya, kita daftar ke konser tingkat nasional ato internasional…kalian pasti seneng bisa keluar negeri. Makanya, gue kasih kalian cuti sebulan nyiapin lagu sama ningkatin kemampuan. Khusus Nurma, ntar gue sekolahin ke kelas vocal. Dan jangan lupa…..kalian cuci kaki sama berdoa sebelum tidur. Paham?!”

Anak-anak ngangguk dan menguap lebar-lebar. Butak yang paling lebar!

—————————

Mereka berusaha ningkatin kualitas dan skill masing-masing.

Pier yang kebagian pegang gitar, bela-belain naek gunung segala. Nyari suasana yang sepi dan sunyi. Bawa ransel gede komplit, gitar akustik, dan tak lupa notes sama pulpen. (Kali aja dapat ilham ramalan togel harian). Dirimbunnya ilalang dia ambil posisi. Siap berlatih biar sayatan gitarnya bisa sealus desah angin gunung dan sealus butiran kabut. Tapi yang muncul kemudian malah bangsa makhluk halus beneran. Ada roh halus, kuntilanak halus, kulit halus, pipi halus, dan semua yang halus-halus. Pier pingsan ngeliatnya dan gak jadi latihan. Dia digotong rame-rame sama suster-suster halus dibawa ke puskesmas terdekat di gunung itu.

Semerntara Asgus, bassis itu pingin jempolnya lebih kuat. Biar pas nyabik senar bass bisa menggelegar. Dia latih jempolnya tiap hari. Makan pake jempol doang, nyuci pake jempol doang, nyeterika pake jempol doang….ngupi, sms, ngerokok, tulis surat…pokoknya semua aktifitasnya pake jempol doang. Karena fanatiknya sama jempol,dia gak mau pake cincin di jari yang laen.

Eh-ada cerita soal jempol Asgus dan cincin azimat:

Asgus dapat cincin dari bang Karno yang tukang jualan batu akik di pasar.

“Cincin ini ampuh buat azimat. Bisa dipake buat pelet cewek yang elo taksir,” kecap bang Karno waktu itu.

“Masak iya…” Asgus mulai percaya

“Eee gak percaya! Begini,nih. Elo pake di jari manis terus diusap-usapin ke jenggot…nah elo kan punya jenggot panjang…” katanya sambil mratekin omongannya,” …setelah itu, lo usapin ke cewek yang lo taksir..”

“Ke jenggot juga?” tanya Asgus antusias

“Iya, ke kumis!!” bang Karno sebel. “ Ya pokoknya terserah lo. Tunggu sampe malem, cewek itu pasti datang…”

Pulangnya Asgus nemu mangsanya di angkot. Cewek manis yang duduk di sampingnya. Bukannya di jari manis, dia pake cincin itu di jempolnya dan mulai dipratekin semua omongan bang Karno. Siiplah! Dia nunggu sampe malam di depan rumahnya sesuai yang dipesan bang karno. Betul aja. Kira-kira jam sembilan malam ada yang datang. Tapi  bukan cewe manis yang di angkot tadi melainkan bang Karno yang mo nagih duit cincin yang belon dibayar Asgus di pasar tadi.

Laen lagi Giok. Dia cukup arif ngelatih vokalnya. Tiap pagi teriak-teriak ngelatih pita suaranya di areal persawahan. Hasilnya, burung-burung pipit jadi ketakutan, pada ngeloyor pergi dan gak jadi nyuri gabah. Petani jadi seneng. Lumayan, Giok sering dikasih duit upah ngusir burung sama yang punya sawah. Giok seneng banget. Dia bertekad nerusin kerja freelance itu sampe tua.

Ada lagi. Lain ladang lain belalang, lain pohon lain monyetnya. Dan monyet yang satu ini…eh cowo manis yang satu ini, si Butak dari gua hantu yang tukang gebuk drum, cukup berlatih di mesjid di kampungnya. Tiap hari dia jadi rajin ke mesjid mukul bedug menjelang waktu adzan. Dia mukul semangat banget hingga jamaah yanmg pada sembahyang jadi ga khusuk gara-gara Butak mukul bedugnya ga berenti-berenti meski imam sudah mulai. Setelah sembahyang kelar Butak segera di amankan ke kotak mimbar.



[cerpen] Female Vocal

–  Female Vocal (1)

–  Female Vocal (2)

–  Female Vocal (3)

–  Female Vocal (4)