Pier & Metal Death
Female Vocal (1)
Nama band mereka Metal Death yang artinya : merdeka dan semau gue (iiihh, jauh amat!).
Salma, music studio
at 11.07 am
Ruang studio musik itu nyaman dan canggih. AC-nya lancar dan fasilitas peralatannya lengkap. Lantainya ditutup karpet seempuk kasur. Bikin betah kalo lagi latihan band. Dinding-dindingnya dilukis gambar pemandangan alam. Maklum aja, tempat itu dulunya studio photo yang dirombak jadi studio musik. Gak heran jika di luar studio juga dibuat taman. Ada ayunan, ada kolam kecil yang di atasnya melintang jembatan kayu, ada juga patung-patung lucu. Tapi yang paling menyenangkan, di pojokan taman ditanami pohon belimbing yang selalu berbuah. Kalo booking tempatnya lama, suka dikasih buah belimbing sama yang punya studio.
Pier bersama teman bandnya keluar ruangan studio begitu batas waktu sewa studio habis. Dan segera digantikan serombongan anak SMP yang nekat bolos pelajaran buat latihan band. Berantakan sekali latihan hari ini. Dua jam ngulik lagu baru, gak satupun nada pas kedapet. Tambah sebel lagi saat alarm meraung ngusir mereka. Bikin kuping serasa diiris-iris. Tapi mending! Dulunya studio itu pernah pake kentongan untuk nandain jam latihan usai. Kesannya jadi kayak maling yang ketangkep hansip kelurahan. Untung sekarang sudah dipasangi alarm. Sembari nunggu bos mereka yang masih di ruang kontrol, mereka duduk-duduk di lantai teras studio membuka bekal rantang susun yang dibawa dari rumah.
Nama band mereka Metal Death yang artinya : merdeka dan semau gue (iiihh, jauh amat!). Band bentukan Pier sama kakaknya Asgus, dan satu temennya yang manis : Giok Watusamin, serta satu temennya lagi yang (gak) manis si Butak Wangonot (baca : si Butak dari gua hantu!). Diasuh oleh Paul, manager sekaligus bos yang selalu ngasih subsidi ke meraka, juga diasuh oang tua masing-masing tentunya. Style meraka cukup serem : Poprock! Disegani dan sering diundang main di panggung-panggung mini. Diundang di pembukaan minimarket, di peresmian pabrik minicompo, di pergelaran fesyen rok mini, dan masih banyak lagi..pokoknya yang mini-mini (Cita-cita sih pingin main di Taman Mini Indonesia Indah)
Paul berjalan keluar ruangan menghampiri anak-anak. Sementara Asgus dari tadi masih ketiduran di dalam studio. Mungkin kecapean betot senar bass yang menurutnya kegedean. Pinginnya sih pake senar pancing biar agak ringanan dikit! Tapi lagi enakan tidur, sebentar juga dah digebukin pake pedal drum diusir sama pemilik studio. Asgus misuh-misuh
“Permainan kalian jelek hari ini!” kata Paul dengan muka lusuh, kayak abis ujian masuk pegawai negeri.
Anak-anak Cuma mesem. Mereka pada sudah hafal bos Paul pasti bilang begitu tiapkali kelar latihan. Tapi pernah pas listrik studio mati dan mereka gak jadi latihan bos Paul bilang ,”hari ini…permainan kalian jelek!” (Yeee…gak beda!)
“Kalian mestinya maen rock keras, bukan lagu daerah!” tambahnya dengan muka yang kini jadi garang. Anak-anak mengkeret. Alamat ga baik?! Anak-anak saling pandang.
“Eh, vocal gue tadi masuk gak, sih?” bisik Giok ke Pier takut kedengaran Paul.
“Iya, entar besok senin depan, sekalian bayar duit kursus” desis Pier gak nyambung. Giok manggut-manggut setuju(?!)
“Apa!!” samber Paul ganas. “Gue, lebih baik denger Butak kejepit pintu daripada denger vocal Elo tadi. Elo harusnya pake feeling kalo nyanyi, asal tereak aja..!” lanjutnya sadis nunjuk idung giok.
“Bukannya vocal gue, tapi suara gitarnya aja yang gak masuk” Giok coba berkelit.
“Mampus semua! Suara gitar, bass, vocal…loncat-loncat gak karuan kayak monyet kelaparan” kata Paul masih galak.
“Gimana gue mo’ maen gitar kalo yang ngedrum …monyet beneran!” Pier menukas gak mau kalah, ngelirik ke monyet..eh Butak.
“Jangan salahin gue, dong” iba Butak ngumpet di kolong meja teras studio, “gue udah bener, drummnya aja yang gak setem..”
“Eeee..buruk tampang cermin lo makan!” koor serempak anak-anak.
Semua saling menyalahkan satu sama lain. Ternyata gak gampang bikin band. Rupanya mereka lupa pada hal paling mendasar, bahwa kemampuan mereka cekak-cekak doang. “Ngebandlah untuk nyehatin tubuh dan jiwa, gak usah muluk-muluk bisa rekaman di Amerika “ kata pepatah yang sepertinya sudah tak berlaku lagi bagi anak-anak.Mereka beneran pingin rekaman. Tapi baru tahap latihan saja pada perang dunia, gimana nanti kalo sudah bagi-bagi duit royalty.
“Perang dunia di studio itu berakhir kira-kira jam dua, saat cacing di perut ngitik-ngitik usus. Laper!
Dan di tengah-tengah suasana itu Paul dapat ilham.
“Yeeesss…oke…yess…okeee…eureka….eureka….” teriak Paul jingkrak-jingkrak kegirangan. “Kita mesti ganti aliran : old school rock with female vocal. Kita pake vocal cewek!” kata Paul mantep.
Yea, band itu butuh vokalis cewe sekaligus ngerubah aliran musik mereka. Anak-anak saling bengong gak rela dengan perubahan itu. Pier menatapi langit yang tiba-tiba berawan. Ngebayangin perubahan besar yang bakal terjadi. Asgus mijit-mijit jempolnya seolah pingin ngelepasin. Giok tertunduk pilu. “Kalo gue dipecat dari posisi vocal, gue mo’ nyambi apa?” ratapnya pilu. Sedang Butak memandang hampa kearah rantang susun yang emang udah kosong isinya.
“Enggaaaa maauuuu…hiks hiks hiks…” suara mereka serempak hampir nangis.
—————————
[cerpen] Female Vocal