Kabut turun pekat, menutup mentari yang mulai jatuh di langit barat

Category : cerpen

Rumpun Duri Ranupane (1)

Kabut turun pekat, menutup mentari yang mulai jatuh di langit barat. Mendadak udara menjadi sangat beku. Ilalang mengetatkan jaketnya. Galau sekali gadis itu memandang gerumbul semak duri di tepi-tepi telaga Ranupane. Dia baru menyudahi setelah kabut mulai merintangi pandangannya. Tak tahan dingin Ilalang beranjak masuk ke pondokan pendaki.

“La….mereka datang!”  terdengar teriakan dari luar pondok. Ilalang terperanjat. Suara Ilham sahabatnya mengusik lengang ruangan.

“Semuanya sudah ditemukan?”  Tanya Ilalang antusias.

“Keempat mayat sudah dibawa ke basecamp,” sahut Ilham,”kondisinya parah..mungkin meninggal seminggu lalu….”

“Anak mana..?”

“Susah dikenali, belum ada keterangan pasti..”

“Mas Ragil?!” potong Ilalang cepat.

“Belum kelihatan, masih di atas bersama tim terakhir…”

“Kita ke sana!”

Keduanya menuju pos basecamp pendakian yang tak jauh dari tempat itu. Ini hari kedua gadis itu di Ranupane. Menunggu mas Ragil beserta rekan tim SAR mengevakuasi mayat para pendaki yang meninggal di Semeru, dan menunggu…Danny yang ia tahu juga mendaki di gunung itu. Sampai sekarang belum turun!

“Bentar, Ham….” seru Ilalang menghentikan langkah. “….Danny ada diantara mayat itu?”

Ilham memandang sendu Ilalang.

“…entah..?” suara Ilham lirih. Ia gandeng erat lengan Ilalang. Ia tahu gadis itu sangat cemas.

Tiba di basecamp tempat itu penuh anggota tim SAR. Beberapa penduduk sekitar juga ikut melihat keempat mayat yang dijajarkan di balai ruangan. Ilalang menyurutkan langkah. Keraguan menyesak di dada gadis itu.

“…Danny…kamu tidak secepat ini mati…jangan ambil nyawanya, Tuhan….lindungi dia….” Doa Ilalang

Dengan keberanian yang tersisa ia mendekat. Tubuhnya gemetar menatapi mayat itu satu persatu.

[cerpen] Rumpun Duri Ranupane

 

update : bagian terakhir ‘ Rumpun Duri Ranupane

 

Puncaknya saat ia mendengar tentang penemuan mayat pendaki liar di Semeru oleh penduduk pencari tanaman obat

Category : cerpen

Rumpun Duri Ranupane (2)

Ilalang sedang menikmati tayangan televisi pagi itu. Gerimis meluncur kecil-kecil sisa hujan deras semalaman. Membuat malas gadis itu untuk berangkat ke kampus. Sampai suara telepon memaksanya bangkit.

“Hallo bisa bicara dengan Ilalang…” Terdengar suara dari seberang.

“ ya, ini Ilalang…”

“Oh….dik Lala, ya… ini tante Ratrih…”

Ternyata tante Ratrih mamanya Danny.

“Ada apa tante…?”

“Dik Lala tahu nggak kemana Danny naik gunung?”

“…engga, Tante! Danny memang bilang mau naik gunung…tapi engga cerita  mau naik kemana…”

Terdengar desah kecewa dari wanita itu.

“…aduh…gimana ya, dik Lala…tante takut sekali….mana cuaca seperti ini,..Danny suka nekat! HP saja ditinggal di rumah…tante bingung…”

Ilalang juga mulai cemas.

“ee…biar Lala cari tahu ke teman-teman…”

“Tolong bantu tante ya, dik Lala….”

“Baik tante…”

Ilalang bolak-balik mencari tahu keberadaan Danny. Nihil! Teman-teman Danny tidak ada yang tahu kemana perginya.

Danny…kamu gila!  Bathin Ilalang kesal

Puncaknya saat ia mendengar tentang penemuan mayat pendaki liar di Semeru oleh penduduk pencari tanaman obat. Hati Ilalang berdebum keras! Ia mulai menduga hal buruk terjadi. Dia tahu Danny sering mendaki gunung itu.

Kepastiannya ia perlu menemui mas Ragil, teman dekat Danny yang anggota SAR wilayah.

“Tolong bawa Danny kembali untuk Ilalang….” pintanya penuh harap saat mas Ragil dan rombongannya berangkat ke gunung.

[cerpen] Rumpun Duri Ranupane

Bunga itu menyembul di antara semak di pinggir telaga Ranupane

Category : cerpen

Rumpun Duri Ranupane (3)

Perkenalan mereka singkat.

Bunga itu menyembul di antara semak di pinggir telaga Ranupane. Menebarkan pesona hingga memikat rasa suka di mata siapapun yang melihat. Ilalang menghampiri. Dia tak memperdulikan rombongan temen-temannya yang telah jauh meninggalkan dia, menuju kendaraan yang akan membawa mereka kembali ke Malang. Ia berniat mengambil dan menanamnya nanti setibanya di rumah.

Agak menjorok ke bibir telaga letaknya. Ilalang menjejak-jejakkan kakinya mencari pijakan tanah yang lebih keras. Setelah berhasil ia merunduk dan mulai menggali dengan pisau kecil yang dibawanya. Hati-hati sekali ia mencabut akar tanaman itu. Indah sempurna! Lama ia pandangi bunga yang kini telah ada di tangannya.

Setelah puas ia segera kembali. Tetapi langkahnya yang tergesa berakibat….Oukh..!! Hampir saja dia terjatuh ke telaga kalau saja tak ada tangan yang menariknya. Ia bersigap. Belum pulih benar kesadarannya dia mendengar gedebuk orang yang menolongnya terperosok ke cekungan semak. Rupanya backpack berat di punggung orang itu membebani ,keseimbangannya.

“Bantu, dong…!” kata orang itu menggapaikan tangannya ke Ilalang.

Ilalang diam saja. Ia masih terkesima dengan dewa penolongnya itu. …cowok…lumayan sangar dengan mata sekelam rimba.

“Mau nolong nggak..!” ulang orang itu

Ilalang mengulurkan tangannya. Ia meneliti lelaki di hadapannya. Sekali lagi dia terpekik

“Pipi kamu berdarah!’ katanya kemudian

Lelaki itu meringis menahan sakit di wajah akibat tergores patahan ranting waktu jatuh tadi.

“Aku carikan obat merah..,” lanjut Ilalang membuka daypack miliknya. “Makanya jangan sok jadi pahlawan, tewas dulu kamu…”

-“Siapa yang mau nolong…,” kilah lelaki itu sambil memijit lukanya yang semakin berdarah,” …iyalah… besok lagi nggak usah ditolong biar nyebur sekalian….”

“Bukan itu maksudnya..” terus Ilalang masih mencari-cari di saku tas. “Enggak ada! Di ransel kamu ada?”

Lelaki itu Cuma menggelengkan kepala.

“Kamu tunggu di sini ya, tapi jangan kemana-mana…aku ambilkan obat merah dulu..!”

Ilalang berlari kecil menyusul rombongannya.  Bersemangat sekali gadis itu. Tidak seperti  kemarin tiga hari berkemah bersama teman putih abu-abunya. Sebenarnya ia tidak begitu suka kegiatan alam terbuka. Ia mengiyakan sewaktu diajak camping perpisahan kelas. Menghibur hati setelah bersitegang dengan Reno, kekasihnya. Lagipula mungkin ini saat  terakhir berbagi senang bareng teman sekelas.

Kembali lagi, Ilalang membawa obat yang dimaksud. Ia mengamati setiap penjuru. Betapa kecewa hatinya ketika tidak didapatinya lelaki itu. …atau…jangan-jangan benar mitos itu, kalo daerah ini masih angker! Tidak hanya lari kecil, sekarang dia berlari sekuat kakinya meninggalkan tempat itu. Setannn!!!

[cerpen] Rumpun Duri Ranupane

Mobil-mobil 4 WD mulai melaju beriringan

Category : cerpen

Rumpun Duri Ranupane (4)

Mobil-mobil 4 WD mulai melaju beriringan. Pandangan Ilalang tak hentinya mencari-cari berharap masih menemukan lelaki yang menolongnya di pinggir telaga. Harapannya terkabulkan. Lelaki itu melambaikan tangan menghentikan mobil. Mendekati Ilalang. Tampangnya kini jadi lucu dengan plester besar di pipi menutup lukanya.

“Ikut numpang sampai bawah ya” katanya

“Aduh sudah penuh, mas..enggak boleh!” sahut Ilalang tipis

“Boleh ya nona….tadi aku sudah tolong kamu, sekarang gantian..”

“Yee.. ternyata ada maunya…” Ilalang melirik teman-temannya dan pak sopir. “….boleh tapi ntar bayar!” canda Ilalang galak.

“Makasih, manis…”ucap lelaki itu meloncat ke mobil.

“Eitt!!! Enak aja, sana di mobil belakang, sini sudah penuh!”

Lelaki itu berjalan lemas menuju mobil di belakang yang mengangkut seluruh peralatan camping. Ia tak memperdulikan teriakan Ilalang yang menanyakan namanya.

Rombongan itu mulai meninggalkan Ranupane menuju kota Malang. Sepanjang perjalanan Ilalang sebentar-sebentar menengok ke belakang. Ia merasa kasihan dengan lelaki itu yang terpaksa ikut mobil barang karena memang mobilnya sudah penuh. Dan wajahnya merona saat bertatap-mata jika tiba-tiba mobil yang di tumpangi lelaki itu mendahuluinya.

Tak ia pungkiri hatinya mekar saat itu.

Ketika sampai di Malang Ilalang bergegas menuju mobil barang itu. Untuk kedua kalinya lelaki itu tak didapatinya. Menghilang! Ia mendongkol kesal. Sayang, jangankan alamat dan segala hal tentang lelaki mata kelam itu, namapun tak ia ketahui. Hatinya patah kecewa.

[cerpen] Rumpun Duri Ranupane

Waktu berlalu bagi Ilalang. Menyisakan lembar-lembar diary yang mesti ditulisi lagi.

Category : cerpen

Rumpun Duri Ranupane (5)

Tetapi tidak, namanya Danny!

Waktu berlalu bagi Ilalang. Menyisakan lembar-lembar diary yang mesti ditulisi lagi. Pada acara festival musik di kampusnya kembali dia menemukan lelaki misterius itu. Wajahnya yang masih ia hafal ada di antara kerumunan penonton. Ilalang tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengulangi kesalahannya. Ia datangi lelaki itu sekaligus memulai alur baru bersama Danny, lelaki yang menolongnya di telaga Ranupane.

Dan cerita bergulir semudah embun menetes dari ujung daun. Ilalang bersama Danny. Dalam suka dan keceriaan hubungan mereka. Jalan-jalan di kota mereka, nonton konser bareng, atau berburu tanaman langka di hutan. Bahkan Ilalang jadi suka hal baru yang dahulu tidak menjadi hobinya, ia sering ikut Danny naik gunung, sekalipun belum pernah sampai puncak karena tak tahan dingin. Setahun lebih Ilalang bersama Danny. Selama itu pula ia tak bisa mengartikan semua kebaikan dan segala perhatian Danny untuknya. Apakah kasih sayang seorang sahabat, atau cinta Danny untuk seorang gadis bernama Ilalang?

Ilalang sendiri tak yakin dengan hatinya. Yang jelas ia akan sangat rindu jika dalam hitungan minggu Danny tak berkunjung ke rumahnya. Kangen dalam posisi seorang sahabat? Karena sampai saat itu ia masih bersama Reno, meski hubungan mereka sudah kritis untuk terselamatkan.

Selainnya, ia akan sangat merasakan nyeri di hatinya jika Gading, gadis manis itu, selalu ikut pendakian-pendakian yang di lakukan Danny. Tentang ini Ilalang pernah menanyakan langsung waktu Danny datang ke rumahnya.

“Gading itu pacar kamu, ya?”

Danny hanya tersenyum tak menjawab. Dia asyik menyisir-nyisir daun Nolina yang mulai kerdil dan menggulung hampir mati.

“Bener kan?! ulang Ilalang jengkel.

“Terserah kamu lihatnya sebagai apa, Permaisuri kali ya..!” jawab Danny sekenanya

Kalau sudah begitu Ilalang akan memilih tak berkata-kata selanjutnya. Dia malas menebak-nebak arti canda atau kesungguhan sikap lelaki itu. Begitupun ketika ia menyinggung kearah yang  lebih jelas. Dia selalu pada posisi mengambang di ending ceritanya.

“Sekali-kali kita rayakan valentine dong….” Ajak Ilalang waktu itu

“Di mana..?” tanyanya

“Di rumah saja…terserah di rumahku atau di rumah kamu”

Danny memikir-mikir sejenak, kemudian, “…valentine tanggal berapa, sih?”

Ampun! Ilalang melengos jengah. Hah!

“Maksudku….,” Danny meralat bicaranya,” valentine masih berapa hari lagi? Mungkin aku nggak bisa, besok aku ke Solo ke rumah bulik..kira-kira seminggu…jadi doakan saja aku bisa pulang sebelum valentine….”

Valentine day, hari yang muram bagi Ilalang. Danny tak datang. Masih di Solo atau entah berada di dunia sebelah mana. Ilalang mengurung diri dalam kamarnya meredam rasa bencinya terhadap lelaki itu.

Baru dua hari kemudian Danny muncul. Ilalang sibuk di taman memindah-mindah bunga yang akhir-akhir ini mulai tak terawat. Ia tak mengetahui kedatangan Danny.

“Hai..” sapa Danny dari luar taman. Dia tampak malu memandang Ilalang yang hanya mengenakan celana pendek dan atasan tanpa lengan.

Ilalang menoleh dan menatap lama lelaki di depannya. Tidak bisa! Dia tidak bisa marah terhadap lelaki yang kerap hadir di mimpinya itu. Ia ulaskan senyum. “Lama banget di Solo?”

“Iya, baru tadi malam sampai rumah,” kata Danny menghampiri Ilalang dan menyerahkan polybag berisi tanaman nolina .”..milik kamu hampir mati kan?”

“Beli di sana?”

“Nggak, bawa dari rumah” jelas Danny, “…yang ini asli Solo,” lanjutnya memamerkan kardus kecil.

“Oleh-oleh kas Solo, ya?”

“Ini aksesoris batik, tapi buat mama kamu…”

“Buat aku mana?” Ilalang tersenyum masam. “Mama ada di kebun belakang…”

Danny berlalu tak lupa berbisik,” yang lebih kebuka nggak ada ya?”

Ilalang tertawa dan meninju lengan lelaki itu.

[cerpen] Rumpun Duri Ranupane