Langit Pucat Fort Marlborough[1]
Matahari sore bersinar lembut dengan tepian bulatan melingkar sempurna. Merah merekah. Kurasa akan terjadi sunset yang indah manakala menyentuh garis lautan sebagai batas akhir pandangan. Selanjutnya memberi kesempatan kegelapan malam menaungi kota Bengkulu. Masih cukup lama. Dan membiarkan aku sendirian menikmati senja dari atas benteng Marlborough. Aku menengok jalanan masuk tetapi mataku tak mendapati kedatangan gadis itu.
“Kenapa, kok-malah bengong?” kataku siang tadi di sekolahnya.
Pipit, gadis itu, diam saja. Kelihatan tak hendak menanggapi perkataanku.
“Manis…., aku kesini pengen denger suara kamu” kataku lagi.
Aku terus berusaha mengusiknya, tetapi rasanya sia-sia kenekatanku.
“Ngomong dong, Pit! Lucu kalo kamu diam saja” aku masih sabar menanti, “tuh, temen-temen kamu pada lihat semua, disangkanya kamu maneken di butik mode kali”
Tak ada perubahan! Gadis itui malah menatapku tajam. Kuikuti gerak manik matanya. Ia malah membuang muka.
“Baiklah…,” ucapku selanjutnya, tak perduli Pipit mendengar atau tidak suaraku. “Kamu sedih ya aku tinggalkan? Sedih karena aku harus pulang ke kotaku? Tidak usah sentimentil, nona. Aku masih bisa menghubungi kamu sewaktu-waktu, aku masih bisa telepon kamu, masih bisa ke Bengkulu lagi. Disini aku masih punya famili om Budi. Atau….”
Aku terus bicara sendiri, hingga Pipit mungkin merasa kasihan melihatku. Yang kutunggu-tunggu mulai meluncur dari pita suaranya.
“Sudah selesai? Pipit masih setia mendengar pidato anda, Tuan.”
Aku tak menggubrisnya.sebaliknya aku cubit hidungnya. Ia meringis, sepertinya aku terlalu keras melakukannya.
“Kamu kok ge-er banget sekarang? Katanya selanjutnya
“Iya, benar, itu karena seorang gadis yang kini berdiri seperti patung di depanku”
Pipit memandangku ketus dan ganti meninju lenganku. Kali ini bukan hanya keras, tapi sepertinya ada bagian tulangku yang remuk. Aku meraung kesakitan. Pipit malah tertawa tak kalah serunya. Aku suka. Ini adalah ekspresi alaminya, tak seperti tadi, entah makhluk dari mana yang ada di hadapanku.
“Sudahlah! Katanya mau pamitan. Cepetan! Pipit masih ada test. Berani nanggung jika Pipit harus ikut test susulan?” katanya berapi-api, kayaknya memang dia terburu-buru.
“Berani!” potongku, ia spontan meninju lengan sebelahku, aku hampir pingsan merasakannya. Aku menyerah.
“Janji kamu nggak menangis setelah mendengarnya. Malu-dong ketahuan teman-teman kamu” kataku masih bercanda, kali ini aku sudah bersiap-siap menangkis jika Pipit meninjuku lagi.
“Kalo masih ngomong yang engga-engga Pipit balik ke kelas!” ancamnya.
“Jangan!”
Aku panik kalau dia sungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Oke, nona..” aku mencoba bersungguh-sungguh,” tapi, seperti tadi, janji kamu nggak sedih setelah ini, nggak akan nangis, nggak sering melamunkan aku…hehe..rajin belajar, jadi anak SMA yang manis, ……..”
Dengan lugas kuucapkan kata pamitanku. Pada Pipit, gadis manis yang kerapkali mengingatkan aku pada Ramauna adikku. Dia adalah semangatku di kota ini, dimana aku terpisah cukup jauh dari tanah kelahiran. Selepas SMA..dan juga setelah mama-papa bercerai, aku sungguh labil dan muak dengan semuanya. Lebih baik aku meninggalkan Semarang kotaku. Aku ingin melupakan segalanya. Kemudian aku ke kota ini, kebetulan om Budi, kakak ibuku, bisa mencarikan aku pekerjaan. Aku jadi berangkat ke Bengkulu. Dan waktu hampir satu tahun tak mengobati lukaku, juga kerinduanku pada Ramauna adikku satu-satunya, dan pada …Tindra, gadis yang pernah ada di hatiku yang kini aku tak tahu kabarnya.
Entah memperhatikan seluruh kata-kataku atau tidak, setelah selesai mengatakannya, kudapati keanehan yang kurasakan. Pipit tersaenyum lama padaku. Aku kesulitan mengartikan bias-bias dibalik bening matanya. Setelah menjabat tanganku, yang aku tak tahan hingga kurangkul dia, ia lalu berbalik ke kelasnya. Mungkin benar, ia sedang pusing memikirkan soal test yang ia tinggalkan. Aku keluar dari gerbang sekolah dengan galau yang menggayut.
Angin laut berhembus keras menerpa. Beberapa anak kecil terlihat sedang bermain bola di bagian benteng yang berumput dan datar. Cukup mengasikkan meski arena itu tak begitu lapang. Kuamati jalanan masuk benteng. Aku kecewa, gadis itu belum juga menampakkan diri.
Harusnya saat ini aku ada di dalam bus. Melaju beberapa puluh kilometer meninggalkan kota Bengkulu. Aku menunda kepulanganku. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan dengan gadis itu.
[cerpen] Langit Pucat Fort Marlborough
* Langit Pucat Fort Marlborough [1]