lanjutan : Di Sini Tak Ada Setan

Category : cerpen

….

 

Rupanya bukan Pos II, melainkan sebuah sumber air. Tak ada siapa-siapa. Giok mencari-cari cahaya yang tadi dilihatnya. Nihil! Giok beringsut dan menurunkan backpack di punggungnya. Mengambil jerigen  dan mulai mengisinya dengan air sumber. Hati-hati sekali, karena harus memisah-misah potongan ilalang yang ikut melayang di dalam air.

Sampai kemudian……..

“Mo’ mandi malem, ya?” terdengar suara yang tak begitu jelas. Giok celingukan mencari asal suara itu, meyakinkan pendengarannya.

“Nggak takut masuk angin?” terdengar lagi suara bersamaan munculnya sosok makhluk di seberang sumber air. Menatap Giok dan memperlihatkan sebaris giginya.

Tapi gigi itu…?? Giok memperhatikan gigi makhluk itu. Lalu….

“K-K-Ku…mis..eh…k-k-kun..kuntilanaaaaakkkkk….!! Jerit Giok meloncat dan berniat berlari secepatnya. Ia tak memperdulikan senternya masih tergeletak di pinggir sumber air. Tak ayal, baru beberapa meter kakinya tersandung dan ia terjerembab ke gerumbul semak.

Giok sangat ketakutan, apalagi ketika sosok setinggi dirinya itu mendekat. Ia hanya bisa pasrah dan membenamkan mukanya ke semak. Matanya terpejam dan tubuhnya menggigil. “Tuhan…s-semoga ini hanya m-mimpi…s-semoga d-dia L-Lunamaya..a-atau R-Rihanna…a-atau s-siapa s-saja…p-pokoknya j-jangan k-kuntilanak….” Doa Giok hampir menangis.

Giok makin membenamkan muka ke semak, ketika sesuatu yang dingin mengguncang-guncang punggungnya. Kalo tidak ingat dirinya seorang cowok, rasanya ia pingin meraung menangis sejadi-jadinya.

“Heh…gue bukan kuntilanak..gue manusia!” ucap makhluk itu akhirnya.

Giok masih belum percaya. Berbagai pikiran berkecamuk di otaknya. Bagaimana kalau makhluk itu bohong dan kuntilanak beneran? Tapi…

Tapi…gigi makhluk itu….gigi makhluk itu pake kawat…masak iya kuntilanak pake kawat gigi?

Rasa penasaran mengalahkan ketakutan Giok. Ia balikkan tubuh. Perlahan matanya dibuka sebelah (jaga-jaga kalo yang dilihatnya kuntilanak beneran, lumayan, mata sebelahnya ga’ ngeliat!)

“Sekarang percaya?” Tanya makhluk itu menyorotkan senter ke muka Giok.

Giok membuka mata sebelahnya. Kini ia percaya makhluk di depannya manusia beneran, cewek kece lagi! Rasa takutnya langsung hilang.

“:Kacian deh kamu…kalo penakut nggak usah naek gunung sendirian, untung kamu belum ketemu kuntilanak beneran….” Kata cewek itu.

“B-Belum..?” rasa takut Giok muncul lagi.

“Iya. Biasanya sejam lagi dia nongol. Tapi dia baek, kok, nggak gigit orang…, Cuma nyekek!”

“Jangan, ah!” potong Giok cepat, “eh iya, gue Giok, elo?” lanjutnya menyorongkan tangan malu-malu.

“Avril Lavigne…” sahut cewek itu pede.

“Sk8r boy dong..yang bener ah!”

“Hi…hi…,” cewek itu tertawa. “Nggak! Gue Meira Aila..” ralatnya.

Meira Aila? Yang suka masuk tipi itu..??

Giok baru saja akan berdiri ketika HP-nya mengeluarkan bunyi, ada SMS lagi :

Enak kale yee, ketemu kuntilanak cakep?

Busyet, siapa sebenarnya yang mengirim SMS teror ini? Giok menatap mata Meira, yang dibalas sahutan, “cewek kamu?”

Giok menggeleng lemas. “Orang ini coba nakutin gue sejak dari bawah,” jelas Giok.

“Kita ke tendaku aja, yuk! Di sana lebih aman, lagian, kayaknya sebentar lagi kuntilanak mo’ lewat sini…” ajak Meira.

“Meira!! Jangan bilang-bilang itu lagi!” Giok langsung meloncat di belakang Meira.

Keduanya menuju tenda yang tak jauh dari sumber air  itu.

“Lo bener manusia khan?” Tanya Giok masih was-was. Beberapa kali matanya mengawasi langkah Meira. Jangan-jangan nggak nyentuh tanah?

Sementara itu, tiga puluh meter dari mereka, sosok bertaring dan berkuku panjang mengendap-endap di balik semak, terus menguntit.

…………………………

Meira ternyata baik banget. Giok bersyukur bertemu gadis itu, yang tampangnya mirip Marsha T, bintang FTV di film ’Cintaku Full Nggak 1/2 Setengah’. Bahkan Giok diperbolehkan tidur di tendanya, sementara dia asyik menulis cerita di luar.

Giok masuk ke tenda dan menggelar sleeping bag.

Tuitt…tuitt…tuitt…!! Ada SMS lagi di HP Giok.

Rasanya emang bener ada setan. Sia-sia lo nyungsep ke sleeping bag….

Huaaa…s-s-setaaannnn!!! Giok langsung panik. Tangannya merogoh sakunya. Sebilah pisau Victorinox tergenggam. Ia bersigap..

Siapa yang mengirim SMS? Siapa yang tahu kalo ia lagi tidur di sleeping bag? Siapa lagi kalo bukan setan?!

Kriniig..kriingng…kriiingngng…!! Ada bunyi lagi. Sekarang bukan SMS, ada suara di HP Giok

“Hallo…ini layanan telepon premium.
anda telah menerima empat SMS.
ketik huruf pertama SMS-SMS tadi.
selanjutnya kirim ke nomor ini…. ”
kata suara di telepon itu.

Giok sepertinya mengenal suara itu. Dia tak langsung menjawab dan segera membuka kotak masuk HP-nya. Membaca empat SMS teror itu lagi dan memperhatikan huruf-huruf pertamanya.

Dan….

“Haaahhhhh……jeleeeekkkkk…!!!!” teriak Giok kegirangan. Dia sekarang tahu siapa pengirim SMS misterius itu. “Jeleeekkk…jeleeekkk…jeleeekkk…!!”

Lima menit kemudian, Giok telah meringkuk di sleeping bag. Suara dengkurnya melesat, beradu dengan deru angin di luar tenda.

Giok tak tahu bahwa sosok bertaring dan berkuku panjang yang selalu mengikutinya dari bawah, berjalan terseret-seret mendekati kemah. Lidahnya terjulur.

Bukannya takut Meira malah mendekati makhluk itu.

“Aduh kasihan…kamu pasti lapar dan kedinginan…” kata Meira mengelus-elus makhluk itu, “..sebentar, aku ambilkan makanan…”

Meira segera menuju tenda yang di dalamnya Giok sedang tertidur pulas. Makhluk itu mengikuti.

Meooong…meooong

……………09STOP04……………

 

( special gift for anak-anak Dorsal Mrangkang :
 “naek gunung lagi, yuk! Gak ada setan, kok. Mereka pada ribet main ‘tak-umpet di tipi!”)

 

.: gitu aja ceritanya, kalo pengen baca dari awal klik di sini

 

.

Bagian Terakhir : Facebook Blue Part Thirteen

Category : cerpen

 

………..

Bayu sebenarnya sedih mengucapkan kata putus itu. Ia gak sungguh-sungguh. Baru seminggu saja ia sudah kangen. Kalo malam gak ia denger lagi suara Hepi nelepon, di sekolah gak ditemui lagi muka imut Hepi yang mirip Koo Hye Sun di serial Boys Before Flowers, lebih rugi lagi di kantin gak ada yang bayarin dia minum es cendol. Bayu sering nangis kalo inget itu semua. Jujur, dia merindukan cewek paling manis se-Indonesia itu (hi…hi…)

Makanya, ia berniat datang ke rumah Hepi meralat keputusannya yang dulu itu dan minta maaf. Tapi malang gak dapat ditolak, Hepi gak ada di rumahnya.

……………………….

Keluar dari warung mbak Yani, Bayu nenteng kantong plastik yang isinya air jeruk yang ia tuang tadi.. Loncat-loncat ngikuti pola warna pavin blok trotoar. Girang banget. Kalo sudah kenyang, ia suka lupa semua masalah. Sambil  Ngingsot kecil dia memasuki halaman rumahnya.

Oh-ada Hepi ngejogrok di teras rumah.

“Hoi, sayaaaangngng……”

Bayu teriak-teriak nyamperin Hepi..Bersalaman kemudian mencium punggung telapak tangan gadis itu(ei jadi inget lebaran!)

Hepi cuma senyum gak manis dan nyodorin selembar kertas yang ada tulisannya ke Bayu.

“Pesen dari ade kamu. Tadi nempel di pintu”

Bayu menerima surat itu dan deg-degan membacanya:

 

Hi Bayu yang lagi muka galak,
Tadi gue nemu dompet di kamar lo. Sorry isinya gue tilep-lep!
E-tau aja  si Jopita temen gue yang model itu, dia cerita kalo elo sering kirim pesen ke FB-nya. Ngefans apa jatuh cinta,sih, pake nyimpen photo Jopita di dompet sgala?
Sebel, ya, gara-gara permintaan pertemanan lo gak di confirm sama si Jopita elo jadi anti FB?
Hehe..tenang aza tar gue comblangin.
O-iya kita semua pergi nonton, so pulangnya agak telat. Pintunya gue kunci, tapi gue masih baek ati ninggalin bantal. Kalo ngantuk tidur dulu aja di teras  sama Jopita elo..
                                   Si manis yang gak jelek kaya kakaknya ( Dita )

 

Hepi sebenarnya pingin tertawa ngakak. Tapi nurut skenario ia kudu pasang tampang butek dan jutek. Ceila-susah amat, sih!

 

———GameOver———

:baca dari awal —-> Facebook Blue Part Thirteen

 

Bagian Terakhir : Rumpun Duri Ranupane

Category : cerpen

 

……….

Segalanya berakhir. Seperti jatuh di jurang dalam. Ilalang serasa dihempaskan oleh kekuatan yang ia tak mampu melawannya. Dia bersyukur Danny tidak termasuk salah satu mayat yang ditemukan itu. Tetapi apa yang selanjutnya harus ia rasakan? Mas Ragil telah kembali dan…Danny tak bersamanya!

“La…aku tak bisa bawa Danny untuk kamu….” sesal mas Ragil pelan  “…hanya ini yang aku temukan di atas….”, katanya menyerahkan backpack dan seuntai segiempat dari logam. Ilalang yakin sekali barang-barang itu milik Danny. Kaca-kaca air mulai menitik dari mata sayu gadis itu.

Malam semakin kelabu. Senandung hewan malam sirna di pucuk rerumputan. Ilalang menggenggam erat segiempat itu. Kepingan logam yang ia tahu dulu sering bertengger di leher Danny. Ada ukiran rembulan di balik gumpalan awan, dan serangkai huruf tergores membentuk nama Ilalang di sisi sebaliknya.

Danny….,
Rembulan bersinar di atas sana..di kesendiriannya yang panjang…
Ilalang tak berhak meraih rembulan itu…..
Kamu tahu, kamu adalah orang paling dekat yang tak dapat Ilalang kenali……
Terima kasih atas hari-hari Ilalang bersama kamu…juga hari-hari Ilalang tanpa kamu….
Selamat jalan Danny….
 

Kabut tipis masih membelai Ranupane. Merangkaikan mimpi-mimpi mata yang terlelap. Bayangan pohon terbungkuk-bungkuk digoyangkan angin. Dan rumpun duri di tepi-tepi telaga masih seperti dulu. Seperti tapak-tapak kaki yang kelam dan penuh misteri.

***end***

:baca cerpen dari awal —> rumpun duri ranupane

 

 

Sakit ati! Kenapa mesti takut dengan kami anak-anak (manis) berambut gondrong??

Category : cerpen, disclaimer

 

Pier & Metal Death
Sakit ati! Kenapa mesti takut dengan kami anak-anak (manis) berambut gondrong??
 
 
“Makasih ibu-bapak, membiarkan kami hidup dengan rambut panjang…”
Thanks : our parents, for putting up with the shit and living with us long hairs
(obituary, deathmetal 1989)

 

Part I : Jangan manjangin rambut kamu!

Berangkat latihan band.
Aku duduk di samping Butak, drummer yang pake kacamata minus itu, di jok 3 bus angkutan antar kota. Bersamaan jam pulang anak sekolah. Tak heran kalo bus penuh sesak, kecuali satu, sebelahku masih kosong. Butak celingukan nyari cewe yang sekiranya  ‘masuk’ kriteria cewe idamannya.(ga sulit amat syarat jadi cewe idaman Butak, asal si cewe mau aja Butak dah seneng lahir-batin). Tapi, cewe yang seneng Butak itu pastilah cewe langka, buktinya seisi bus yang ngerasa cewe tak satupun yang berminat. Huh-jangankan tertarik, ngelirik Butak aja dipaksa-paksain. Padahal Butak tuh orangnya manis(kalo pas kena guyuran air gula!)

Hampir nyampe tempat latihan nge-band bus berhenti naikin penumpang lagi. Kali ini rombongan  ibu-ibu pegawai pemerintah, keliatan  dari seragam yang dikenakan. Langsung berebut. Yang mujur masih nemu jok kosong yang telah ditinggalkan penumpang, yang lainnya berdiri. Satu-masih ada jok kosong di sebelahku. Herannya tak ada satupun dari ibu-ibu yang tak dapat tempat duduk itu mau menempati. Jadi mikir ‘ pa jok sebelahku ada hantunya sampe mereka tak mau duduk..ihh-takuutt…

Pastilah engga ada hantunya. Aku pandangi ibu-ibu itu dan bermuka manis menawarkan jok kosong itu. Sama aja, gak ada yang mau duduk. Hmm-jadi engga enak dan serba salah. Aku ganti terpaksa pandangi Butak yang masih celingukan nyari cewe idaman.

“Heh, Tak, ayo!” ajakku hengkang dari jok berhantu itu. Sepertinya Butak tau maksudku dan segera beringsut milih berdiri dekat pintu keluar bus.

“Muka lo kayak hantu!”

“Engga! Muka elo yang kayak hantu!”

Iya, saling menyalahkan. Segitu menakutkankah kami? Ga mungkin! Ato-mungkin saja bener jok itu berhantu…

Sekali lagi Engga! Jok tempat duduk di bus itu tak ada hantunya! Gak lama-baru saja kami tinggalkan ibu-ibu pegawai yang tadi berdiri, sudah asyik ngikik ngerumpi di jok itu. Suaranya keras seperti tak mau kalah sama deru bus.

Sakit ati! Kenapa mesti takut dengan kami anak-anak (manis) berambut gondrong??

“…rasain-aku sumpahin laki lo rambutnya gondrong kumisnya juga gondrong, ato anak-anak nakal lo semua berambut gondrong….!!”

Eh-gak baek bilang gitu! Emang sudah resiko rambut gondrong dijauhin orang. Mungkin saja ibu-ibu itu punya trauma dengan orang berambut gondrong yang keliatan mirip berandalan ato preman gak punya kerja, wajar aja kalo gak suka..

Biarkan saja. Biarkan saja…

 

Part II : Gak papa manjangin rambut kamu.

Perjalanan dari terminal Cimone – stasiun Senen.
Sinar lampu-lampu gedung di pinggir jalan seperti menyayat menembus kaca bus. Menciptakan siluet garis abstrak di mata, menerangi ruangan redup interior bus. Menandakan waktu sudah beranjak malem hari. Ibukota masih saja sesak dan penuh aktivitas sana-sini. Aku jadi ingat di kampung pasti saat begini pada berangkat ngumpul di tempat nongkrong, bagi-bagi cemilan ato ada juga yang lagi main gaple di pos ronda.

Beruntung tadi naik bus di terminal, semua-kami tujuh orang, kebagian tempat duduk. Banyak penumpang lain terpaksa berdiri dan berharap ada penumpang yang turun dan jok kosongnya bisa gantian diduduki. Tujuh anak band(hehe..) mo pulang kampung dan terheran-heran dengan keramaian Jakarta.

Ada cerita manisnya,

Di bus yang penuh sesak itu ada juga makhluk yang membuat kami tersenyum. Bener! Diantara penumpang yang berdiri, ada ibu muda dengan anaknya yang masih kecil. Sekitaran tigapuluhan umur ibu itu.

Kasian juga kalo harus berdiri sambil gendong anaknya. Untung temenku baik hati merelakan tempat duduknya untuk ditempati ibu itu. Ikhlas dong-dapat pahala. Temenku pindah gabung himpit-himpitan dengan temen-temenku yang  duduk di jok belakangku.

Mungkin terlalu kecapean ibu itu pede naroh anaknya di pangkuanku. Supriz aja, aku kaget, manggut mengiyakan. Bukan pekerjaan yang berat, setidaknya dibanding jika harus memangku Butak yang rewel-bawel(balita kale si Butak..).

Cuman, nangis engga ya anak kecil  itu deket aku sama temen-temen yang berambut gondrong?

Ternyata nggak nangis. Siplah! Aduh adik kecil jangan nangis ya.. Tapi aku gak ambil resiko, demi amannya handuk yang aku kalungkan di leher aku buat kudung rambutku yang panjang, ah-siapa tahu adik kecil berubah jadi nangis lama-lama ngeliat aku.

Anak-anak pada seneng semua liat adik kecil itu. Henk, vokalis itu berkali narik handuk di kepalaku biar adik kecil itu takut. Tapi engga tuh, adik kecil tetep diem anteng. Main ciluba sama cubit dikit pipi adik itu. Si Butak ngusap-usap rambutnya, seperti gemes pengen cepet nikah punya anak.

Anak-anak juga berebutan bermanis-manis ngomong sama ibu muda itu. Ada yang basa-basi nanya alamat segala, ato nanya apa ibu itu punya sodara cewe, ato sembarang lainnya.. Eh-jadi curiga?! Haa..pantesan aja, ibu muda itu kalo diperhatiin dari deket orangnya cantik manis. Ramah lagi. Anak-anak dikasih maem kue-kue bawaannya. Hmm-jadi tersanjung, ternyata ada juga ibu baik hati yang ngga anti sama anak gondrong berantakan. Percaya saja biarin anaknya di pangkuan orang yang baru saja dikenal.

Lama-lama adik kecil itu tertidur. Tidur..tidur yang nyaman di pangkuanku adik kecil..di antara cowo-cowo manis berambut gondrong (hihi…)

Cerpen : Kayu Gunung

Category : cerpen

Tanganku layu meletakkan kayu bakar yang terkumpul tak seberapa. Hawa yang kurasa terlalu dingin meremukkan seluruh sendi dan kekuatanku. Di bivak yang aku dirikan sederhana aku berlindung dari hujan deras yang menguyur seluruh bagian gunung. Aku tak yakin kayu yang aku bawa bisa terbakar api, keadaan sangat basah, tapi biasanya kayu gunung cukup bertahan dan bisa dinyalakan dalam keadaan basah.

Aku memutar roda pemantik api tapi sepertinya tak ada bunga api yang keluar, ah-kenapa tak membawa pemantik elektrik? Berulang roda pemantik kuputar tetap saja tak ada bunga api yang terjadi. Ada bagian pemantik yang ikut basah sehingga tak menghasilkan loncatan bunga api. Kuulangi memutar roda pemantik dengan lebih keras. Hah! Putarannya menjadi terasa lain, aku tahu pasti batu apinya terpental keluar. Benar saja, hanya ada gesekan roda pemantik dengan per penyangga batu api.

Hujan semakin deras. Hempasan angin keras menerbangkan air basah ke posisiku berlindung. Seperti sia-sia bivak yang kudirikan. Semuanya basah. Jarak pandang semakin sempit oleh guyuran hujan yang disertai badai.

Aku harus mencari tempat yang lebih terlindung. Pos di atasku yang aku tak mengetahui masih berapa jauh jaraknya, atau kembali ke pos di bawah, sekitar 2 jam perjalanan, itupun dalam kondisi perjalanan normal tidak hujan badai seperti saat ini.

Tapi, jangan terlalu berharap, sekarangpun keadaan diluar kendaliku. Tubuhku menggigil hebat, tanganku kaku beku.

Korek api….korek api….korek api… tanganku meraih-raih dan mencari di saku tas ransel yang tak mungkin ada, aku ingat betul hanya membawa pemantik yang telah rusak tadi. Rasa putus asa membuat aku mengulang-ulang hal yang sama, mencari di seluruh bagian tas ranselku.

Aku semakin beku dan lemah. Gigiku saling merekat kuat menahan rasa dingin yang tak bisa kutahan. Tubuhku tak kuat dan berguling terkapar.

Bayangan peristiwa-peristiwa terakhir berloncatan mengisi otakku, berjejal diantara ilusi ketakutan dengan keadaanku yang sekarang. Disaat seperti ini orang-orang dekatku seperti hadir di depanku. Mataku sudah tak bisa melihat dengan jelas.

Hah! Ini terlalu mudah!

Aku hanya pandangi tumpukan kayu gunung yang kini basah oleh hempasan air hujan. Sekuat yang bisa kulakukan kakiku kejejakkan ke tumpukan kayu, menggesernya agar mendekat kearah tanganku. Aku bisa meraih kayu itu meski terasa susah memegangnya. Aku jepit diantara kedua lenganku.

Aku pukul-pukulkan kayu itu ke kayu yang lain. Aku pukulkan tak henti. Aku pukul…aku pukul..terus..terus..terus…aku pukul terus…ke kayu yang lain…

Aku pukul terus sampai bunga api keluar dari kayu gunung itu. Aku memukul semakin keras kayu gunung yang lain. Bunga api semakin banyak  dan besar. Kayu gunung mulai terbakar. Api berkobar membakar tumpukan kayu gunung yang lain. Membakar rumputan di sekitarnya. Membakar udara yang basah oleh hujan badai. Membakar langit di atasku. Membakar seluruh bagian gunung.

—0—