Edelweiss Biru Pudar

Category : cerpen



Fragmen dari cerita-pendek : Edelweiss Biru Pudar

Terhempas

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku terhempas. Kertas-kertas surat yang kujumpai seakan sudah lama enggan bercerita tentang coretan beku di atasnya. Bertumpuk di dalam peti kayu yang pengap ini. Seandainya mampu, ingin sekali aku membuka-buka dan membaca tumpukan surat itu, mengetahui alur peristiwa yang sebenarnya.

Rapuh

Aku terlalu berkhayal! Saat ini untuk melihatpun aku tak punya kuasa. Aku sangat rapuh. Tak seharusnya aku merasakan semua ini. Ini bukan bagian dari diriku, aku terpisah dari kehidupanku. Goncangan-goncangan yang membuatku harus mengerti perbedaan-perbedaan yang terjadi. Aku mulai belajar memahaminya, menarik penggalan kisah seterusnya berusaha merangkainya. Namun, kadang aku terlalu hanyut ke dalamnya. Membuatku terlena. Sekali lagi aku mengerti, dan mungkin hanya aku yang mengalaminya.

Terlena

Tetapi, mengapakah aku perduli? Tak salahkah perasaanku? Kini aku terpuruk tak berarti. Aku telah pudar tenggelam. Aku semakin takut detik-detik selanjutnya, tak ada kebanggaan lagi. Apakah mereka perduli? Apakah dia tahu aku menjerit? sama seperti ketika dia merengkuhku hampir setahun yang lalu? Seperti anak kecil saja, aku tak mengerti dan tak punya kekuatan. Aku hanya diam memandang, semua terpisah dariku. Sampai kemudian aku terlena oleh bias semu yang membiusku. Menembus tubuhku terdalam. Perlahan-lahan aku bergerak. Aku tak mengerti selanjutnya. Aku diliputi perasaan yang aneh. Aku mulai tersenyum. Aku mulai suka. Ada kebanggaan. Aku mulai mekar, berbunga-bunga menjadi bagian dari kisah paling menakjubkan yang pernah ada. Aku menjadi lambang perasaan penuh misteri sepanjang sejarah….perasaan cinta-kasih! Aku semakin terbuai…

Usang

Kini, apakah itu masih ada padaku? Akankah aku dapat mempertahankannya? Apakah semua perduli padaku saat ini…? Aku menjadi anak kecil lagi…diam dan tak punya kekuatan,,,, Mungkin saja ini memang telah menjadi garisku. Segalanya terus berubah dan tak ada yang kekal. Menyadari kenyataan, ada bagian diriku yang terlepas. Aku telah usang.

Larut

Terlalu mengada-ada pikiranku! Aku melakukannya lagi, larut dalam kisah yang terjadi di hadapanku. Selalu begitu.

Merana

Akh! Jangan tinggalkan aku! Kembali…. Kembali…!! Teriakanku menggema. Ia sedikitpun tak ada kepedulian. Aku semakin merana. Kuperhatikan sekelilingku. Ada keinginan untuk kembali ke tempatku, aku masih belum terlampau jauh. Akh teman-temanku, pastilah mereka memikirkan aku di atas sana…

Penonton

Hari-hari selanjutnya semakin bertambah parah. Ia sering marah tanpa aku tahu sebabnya, atau.., kalau tidak, termenung lama. Tiapkali aku bertanya, tiapkali pula aku tak mendapat jawaban. Kesal! Sombong sekali tak mau berbagi denganku. Lama-lama aku terbiasa dengan keadaan ini. Aku tak memperdulikannya. Lebih baik aku menonton, mengamati kelanjutannya.

Pesona

Pernah aku ingin melakukan lagi pekerjaan dulu, menyatukan meraka. Bukankah aku yang membuat mereka bersatu? Aku adalah symbol dari kebersamaan mereka. Tiap saat kupancarkan pesonaku sekuat-kuatnya. Mengingatkan dengan permulaan itu. Aku berbicara banyak, memberi sugesti sedalam-dalamnya.

Kerinduan

Perasaan yang satu ini tak pernah hilang dari tubuhku. Selalu menghentak. Kerinduan! Wajar saja, aku ingin bertemu mereka lagi. Rumahku, teman-temanku, suasana sekitarnya… Alangkah nyaman menikmati kabut tersinari cahaya pagi, atau melemparkan pandangan ke gumpalan awan. Seandainya semua ini tak terjadi,seandainya lelaki itu membiarkan aku liar seperti adanya… Tak pernah ada kerinduan…!

Emosi diri

Akupun menyadari perasaanku tak alami lagi. Sudah terbalut hal-hal yang datang kemudian. Aku mudah hanyut oleh peristiwa yang dulu biasanya tak terpikirkan. Aku sering merasa goyah seiring perubahan waktu, kebingungan dengan pertukaran cuaca, atau belum lagi perasaan yang tak sepantasnya menjadi milikku. Aku dihinggapi emosi diri yang berlebihan. Aku merasa sedih, gembira, senang yang teramat-amat.

Pudar

Aku terkurung. Batinku dan ragaku. Aku sudah tak berarti lagi. Inilah hidupku. Tak pernah padam tak pernah menyala. Perlahan semakin pudar. Aku mengkhayalkan diriku bermekaran selamanya, meraih awan, terguyur hujan deras, menatap kabut pekat, mendengar desah angin semilir…. Berada di tengah-tengah, bergoyang-goyang….

Akh Edelweiss-edelweiss liar….

Aku menunda kepulanganku

Category : cerpen

Langit Pucat Fort Marlborough[1]


Matahari sore bersinar lembut dengan tepian bulatan melingkar sempurna. Merah merekah. Kurasa akan terjadi sunset yang indah manakala menyentuh garis lautan sebagai batas akhir pandangan. Selanjutnya memberi kesempatan kegelapan malam menaungi kota Bengkulu. Masih cukup lama. Dan membiarkan aku sendirian menikmati senja dari atas benteng Marlborough. Aku menengok jalanan masuk tetapi mataku tak mendapati kedatangan gadis itu.

“Kenapa, kok-malah bengong?” kataku siang tadi di sekolahnya.

Pipit, gadis itu, diam saja. Kelihatan tak hendak menanggapi perkataanku.

“Manis…., aku kesini  pengen denger suara kamu” kataku lagi.

Aku terus berusaha mengusiknya, tetapi rasanya sia-sia kenekatanku.

“Ngomong dong, Pit! Lucu kalo kamu diam saja” aku masih sabar menanti, “tuh, temen-temen kamu pada lihat semua, disangkanya kamu maneken di butik mode kali”

Tak ada perubahan! Gadis itui malah menatapku tajam. Kuikuti gerak manik matanya. Ia malah membuang muka.

“Baiklah…,” ucapku selanjutnya, tak perduli Pipit mendengar atau tidak suaraku.  “Kamu sedih ya aku tinggalkan? Sedih karena aku harus pulang ke kotaku? Tidak usah sentimentil, nona. Aku masih bisa menghubungi kamu sewaktu-waktu, aku masih bisa telepon kamu, masih bisa ke Bengkulu lagi. Disini aku masih punya famili om Budi. Atau….”

Aku terus bicara sendiri, hingga Pipit mungkin merasa kasihan melihatku. Yang kutunggu-tunggu mulai meluncur dari pita suaranya.

“Sudah selesai? Pipit masih setia mendengar pidato anda, Tuan.”

Aku tak menggubrisnya.sebaliknya aku cubit hidungnya. Ia meringis, sepertinya aku terlalu keras melakukannya.

“Kamu kok ge-er banget sekarang? Katanya selanjutnya

“Iya, benar, itu karena seorang gadis yang kini berdiri seperti patung di depanku”

Pipit memandangku ketus dan ganti meninju lenganku. Kali ini bukan hanya keras, tapi sepertinya ada bagian tulangku yang remuk. Aku meraung kesakitan. Pipit malah tertawa tak kalah serunya. Aku suka. Ini adalah ekspresi alaminya, tak seperti tadi, entah makhluk dari mana yang ada di hadapanku.

“Sudahlah! Katanya mau pamitan. Cepetan! Pipit masih ada test. Berani nanggung jika Pipit harus ikut test susulan?” katanya berapi-api, kayaknya memang dia terburu-buru.

“Berani!” potongku, ia spontan meninju lengan sebelahku, aku hampir pingsan merasakannya. Aku menyerah.

“Janji kamu nggak menangis setelah mendengarnya. Malu-dong ketahuan teman-teman kamu” kataku masih bercanda, kali ini aku sudah bersiap-siap menangkis jika Pipit meninjuku lagi.

“Kalo masih ngomong yang engga-engga Pipit balik ke kelas!” ancamnya.

“Jangan!”

Aku panik kalau dia sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Oke, nona..” aku mencoba bersungguh-sungguh,” tapi, seperti tadi, janji kamu nggak sedih setelah ini, nggak akan nangis, nggak sering melamunkan aku…hehe..rajin belajar, jadi anak SMA yang manis, ……..”

Dengan lugas kuucapkan kata pamitanku. Pada Pipit, gadis manis yang kerapkali mengingatkan aku pada Ramauna adikku. Dia adalah semangatku di kota ini, dimana aku terpisah cukup jauh dari tanah kelahiran. Selepas SMA..dan juga setelah mama-papa bercerai, aku sungguh labil dan muak dengan semuanya. Lebih baik aku meninggalkan Semarang kotaku. Aku ingin melupakan segalanya. Kemudian aku ke kota ini, kebetulan om Budi, kakak ibuku, bisa mencarikan aku pekerjaan. Aku jadi berangkat ke Bengkulu. Dan waktu hampir satu tahun tak mengobati lukaku, juga kerinduanku pada Ramauna adikku satu-satunya, dan pada …Tindra, gadis yang pernah ada di hatiku yang kini aku tak tahu kabarnya.

Entah memperhatikan seluruh kata-kataku atau tidak, setelah selesai mengatakannya, kudapati keanehan yang kurasakan. Pipit tersaenyum lama padaku. Aku kesulitan mengartikan bias-bias dibalik bening matanya. Setelah menjabat tanganku, yang aku tak tahan hingga kurangkul dia, ia lalu berbalik ke kelasnya. Mungkin benar, ia sedang pusing memikirkan soal test yang ia tinggalkan. Aku keluar dari gerbang sekolah dengan galau yang menggayut.

Angin laut berhembus keras menerpa. Beberapa anak kecil terlihat sedang bermain bola di bagian benteng yang berumput dan datar. Cukup mengasikkan meski arena itu tak begitu lapang. Kuamati jalanan masuk benteng. Aku kecewa, gadis itu belum juga menampakkan diri.

Harusnya saat ini aku ada di dalam bus. Melaju beberapa puluh kilometer meninggalkan kota Bengkulu. Aku menunda kepulanganku. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan dengan gadis itu.



[cerpen] Langit Pucat Fort Marlborough

* Langit Pucat Fort Marlborough [1]

* Langit Pucat Fort Marlborough [2]

* Langit Pucat Fort Marlborough [3]

Bengkulu ini seperti Rafflesia Arnoldii,

Category : cerpen

Langit Pucat Fort Marlborough [2]


“Kayak apa kota Semarang?”

“Kayak apa, ya?” aku memikir-mikir, “…kayak banjir deras…menghanyutkan  dan cepat!”

“Cepat apanya?”

“Cepat banjirnya!” kataku lantang. Pipit tertawa. Aku paling suka melihat dia kalau tertawa lepas.

“Sekarang seperti apa Bengkulu?” balasku bertanya

Ia tak segera menjawab. Kepalanya mendongak keatas. Eksyen yang juga aku rindukan.

“Cari apa?” potongku cepat.

“Cari malaikat kasih contekan jawaban!” jawabnya ringan. Ia menbuatku menunggu lama. “…..seperti apa,ya ….. seperti Rafflesia, indah dan tak ada duanya.”

Mungkin benar jawabannya. Bengkulu ini seperti Rafflesia Arnoldii, bunga langka yang kadang terlihat dan ditemui di hutan-hutan Bengkulu. Begitupun kota ini bagiku. Kadang mekar di hatiku, kadang  aku bosan dan ingin meninggalkannya. Apa yang ditawarkan kota Bengkulu bagiku? Kota tepi pantai? Aku bahkan lebih suka Kepahiang, bagian Bengkulu paling atas. Kota kecil yang eksotis menurutku. Hawa dingin yang menyayat tubuh, suasana tradisional yang masih kental, atau perkebunan kopi di pegunungan. Sama-sama di dataran tinggi mungkin orang lebih memilih Curup yang lebih ramai dan kota.

“Nggak! Bengkulu ini bukannya indah tetapi ngeri!” protesku

“Nggak bisa!” ia menukas cepat.

“Lho-kamu sendiri yang bilang mirip bunga Rafflesia. Bunga Rafflesia  mengerikan!”

Aku jadi akrab dengan Pipit yang mula pertama kujumpai di Fort Marlborough di suatu sore. Seorang teman yang kepadanya aku berbagi rasa, dan seorang yang membangkitkan semangatku tinggal di perantauan, apalagi setelah lama tak ada kabar dari Tindra.

Aku seringkali menghabiskan sore di Fort Marlborough, benteng sisa peninggalan jaman kolonial. Menikmati senja kalau sudah tak ada pekerjaan yang mesti dilembur. Lain lagi hari Minggu, pagi buta sudah berlari-lari sampai pantai Panjang. Hembusan angin laut seakan membawa kepenatan kerja sepekan. Entah ini baik untuk kesehatan atau malah sebaliknya. Aku hanya suka saja melakukannya. Dan pasti Pipit ada menemaniku.

Saat-saat pertama aku melihatnya sering bersama teman lelakinya. Aku yakin itu kekasihnya. Tiap kali aku ke benteng selalu kudapati mereka. Pasangan yang serasi dan membuat iri tiap mata yang memandang. Hingga suatu sore tak kudapati pemandangan itu. Baru setelah mengenalnya, aku tahu bahwa mereka sudah putus cinta. Tiap kali kutanyakan sebabnya, tiapkali pula aku tak mendapatkan jawaban.

“Masih kecil jangan pacaran dulu, nona…..” nasehat yang sering kulontarkan kepadanya.

Ia pasti berkilah. “Salah! Pacaran itu mata pelajaran nomor satu di SMA…..”

Bersamanya aku jadi tahu banyak tempat yang wajib dikunjungi di Bengkulu. Suatu ketika di perjalanan mendaki bukit Kaba ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sewaktu Pipit membuka tas daypack-nya, tak sengaja ada benda yang jatuh. Aku tahu itu adalah kepingan segiempat yang kuberikan kepadanya. Aku memungutnya dan alangkah terkejutnya aku. Di kepingan itu ditempel foto close up-ku. Aku tertawa, sebaliknya dia kelihatan gugup dan secepatnya merebut kemudian memasukkannya lagi ke tas.

“Kamu mau jadi pacarku?” gurauku suatu waktu.

“Nggak mau!” jawab Pipit cepat. “Kamu bilang anak kecil tidak boleh pacaran dulu, lagian nggak enak pacaran sama kamu…..”

Aku tertawa dan menanyakan alasannya. Pipit hanya tersenyum.

Aku suka berada di dekatnya. Aksen bicaranya mampu membuatku ikut ceria seperti yang ditawarkan pada bening matanya.



[cerpen] Langit Pucat Fort Marlborough

* Langit Pucat Fort Marlborough [1]

* Langit Pucat Fort Marlborough [2]

* Langit Pucat Fort Marlborough [3]

Apakah Pipit tak mau menemuiku?

Category : cerpen

Langit Pucat Fort Marlborough [3]



Canda riang anak-anak yang tadi bermain bola seakan merampas alam kembaraku. Rupanya mereka telah selesai bermain dan mulai meninggalkan lapangan berumput itu. Sementara matahari masih terlihat merah membara di langit barat.

Apakah Pipit tak mau menemuiku?

Sewaktu menunggu keberangkatan bus, gadis itu datang dengan motornya. Aku sangat terkejut terlebih dia hanya memandangiku dengan segala kemarahan dari sorot matanya. Aku mencari tahu tapi sia-sia saja usahaku karena motornya melaju meninggalkanku. Sekilas kulihat kaca-kaca bening meleleh dari sudut-sudut matanya.

Setelah kejadian di pool pemberangkatan itu aku membatalkan tiket perjalananku. Aku kerumahnya. Pembantunya yang disuruh menemuiku. Aku meninggalkan rumah itu dengan lunglai.

Lewat telepon kucoba lagi menghubunginya. Hati-hati sekali aku bicara setelah yakin Pipit yang menerima. Aku mendengar isak tertahan.

“Pit….kamu menangis,ya?” suaraku aku lemahkan, “…boleh aku mengetahui sebabnya?”

Pipit lama tak menjawab.

“Pit….”

“…iya…” suaranya lirih dan putus

Setelah menunggu-nunggu baru aku mendengar suaranya lagi.

“Maaf jika Pipit tadi tidak mau menemui kamu…..” suaranya masih terbata, “….Pipit tidak mengerti dengan sikap kamu selama ini…..”

“Kamu marah?”

“Entah…Pipit tidak tahu…Pipit cuma tidak ingin ketemu kamu. Buat apa….?”

“Pit, kamu tidak boleh begitu. Baiklah. Aku  terlalu menganggap semuanya mudah dan tak serumit ini. Aku salah!”

Aku mengira ia memutus pembicaraan setelah lama tak kudengar ada sahutan. Tapi suara dengung telepon membuatku menanti.

Kemudian,

“Pipit…mungkin terlalu berlebihan dalam perasaan….  tanpa mencoba mengetahui siapa diri kamu sebenarnya…..,” suaranya lenyap. Aku merasakan gejolak yang tertahan, lanjutnya, “……kamu menang, Pipit kalah dan rapuh….., tapi…., biarlah Pipit sendiri yang merasakan…..Pipit suka kamu… Pipit sayang kamu……”

Aku mendengar tangisnya pecah lagi. Sekian lama aku tercekat.

Bagaimanakah yang mestinya terjadi? Perasaanku terhadap Pipit?

[…]




[cerpen] Langit Pucat Fort Marlborough

* Langit Pucat Fort Marlborough [1]

* Langit Pucat Fort Marlborough [2]

* Langit Pucat Fort Marlborough [3]