Tanganku layu meletakkan kayu bakar yang terkumpul tak seberapa. Hawa yang kurasa terlalu dingin meremukkan seluruh sendi dan kekuatanku. Di bivak yang aku dirikan sederhana aku berlindung dari hujan deras yang menguyur seluruh bagian gunung. Aku tak yakin kayu yang aku bawa bisa terbakar api, keadaan sangat basah, tapi biasanya kayu gunung cukup bertahan dan bisa dinyalakan dalam keadaan basah.
Aku memutar roda pemantik api tapi sepertinya tak ada bunga api yang keluar, ah-kenapa tak membawa pemantik elektrik? Berulang roda pemantik kuputar tetap saja tak ada bunga api yang terjadi. Ada bagian pemantik yang ikut basah sehingga tak menghasilkan loncatan bunga api. Kuulangi memutar roda pemantik dengan lebih keras. Hah! Putarannya menjadi terasa lain, aku tahu pasti batu apinya terpental keluar. Benar saja, hanya ada gesekan roda pemantik dengan per penyangga batu api.
Hujan semakin deras. Hempasan angin keras menerbangkan air basah ke posisiku berlindung. Seperti sia-sia bivak yang kudirikan. Semuanya basah. Jarak pandang semakin sempit oleh guyuran hujan yang disertai badai.
Aku harus mencari tempat yang lebih terlindung. Pos di atasku yang aku tak mengetahui masih berapa jauh jaraknya, atau kembali ke pos di bawah, sekitar 2 jam perjalanan, itupun dalam kondisi perjalanan normal tidak hujan badai seperti saat ini.
Tapi, jangan terlalu berharap, sekarangpun keadaan diluar kendaliku. Tubuhku menggigil hebat, tanganku kaku beku.
Korek api….korek api….korek api… tanganku meraih-raih dan mencari di saku tas ransel yang tak mungkin ada, aku ingat betul hanya membawa pemantik yang telah rusak tadi. Rasa putus asa membuat aku mengulang-ulang hal yang sama, mencari di seluruh bagian tas ranselku.
Aku semakin beku dan lemah. Gigiku saling merekat kuat menahan rasa dingin yang tak bisa kutahan. Tubuhku tak kuat dan berguling terkapar.
Bayangan peristiwa-peristiwa terakhir berloncatan mengisi otakku, berjejal diantara ilusi ketakutan dengan keadaanku yang sekarang. Disaat seperti ini orang-orang dekatku seperti hadir di depanku. Mataku sudah tak bisa melihat dengan jelas.
Hah! Ini terlalu mudah!
Aku hanya pandangi tumpukan kayu gunung yang kini basah oleh hempasan air hujan. Sekuat yang bisa kulakukan kakiku kejejakkan ke tumpukan kayu, menggesernya agar mendekat kearah tanganku. Aku bisa meraih kayu itu meski terasa susah memegangnya. Aku jepit diantara kedua lenganku.
Aku pukul-pukulkan kayu itu ke kayu yang lain. Aku pukulkan tak henti. Aku pukul…aku pukul..terus..terus..terus…aku pukul terus…ke kayu yang lain…
Aku pukul terus sampai bunga api keluar dari kayu gunung itu. Aku memukul semakin keras kayu gunung yang lain. Bunga api semakin banyak dan besar. Kayu gunung mulai terbakar. Api berkobar membakar tumpukan kayu gunung yang lain. Membakar rumputan di sekitarnya. Membakar udara yang basah oleh hujan badai. Membakar langit di atasku. Membakar seluruh bagian gunung.
—0—